Tidak selamanya, sebuah harapan akan menemui kenyataan. Akan sangat berbahaya, apabila hal tersebut terjadi. Sudah barang tentu, alamiah kehidupan akan menuai titik-titik kesenjangan antara apa yang kita sebutkan tadi.
Semua hal, bagian-bagian, dan segala macam sisi kehidupan, akan dan tetap terus berjalan. Waktu adalah kalkulasi perjalanan yang selalu objektif. Waktu tidak pernah mempertimbangkan situasi, apalagi kondisi. Baik sedang baik-baik saja, atau sebaliknya, tidak sedang baik-baik saja, terkhusus pada diri luar maupun diri dalam manusia.
Awalnya, saya termasuk orang yang tidak sependapat dengan term "waktu akan menyembuhkan". Akan tetapi, saat akhir-akhir ini, term tersebut nampaknya ada benarnya. Oleh karena, waktu memiliki ragam dan jenis dalam memberi space bagi jiwa tiap-tiap kita, dalam rangka otomatisasi kesembuhan. Sembuh artinya pernah sakit, dan sakit tidak akan pernah lepas dari kata sembuh.
Problema, atau barangkali yang paling tepat adalah "hal yang kita anggap problema", merupakan something yang integral dalam kenyataan hidup ini. Problema tersebut, kerap menuai berbagai tekanan, sampai bisa menjadikan manusia stress sampai depresi.
Mekanisme raga dan jiwa manusia, termasuk kita, memiliki auto sembuhnya sendiri. Misalnya, terlukanya jari karena sayatan pisau, atau misalnya, terlukanya hati oleh sebab terkaman pedang perasaan. Akan dengan sendirinya memperoleh simplicity kesembuhan. Tentu ada pengecualian, bagi case yang khusus dan cenderung berat.
Apapun itu, sebaiknya atau lebih tepatnya yang saya anggap baik, ditempatkan pada tempat yang tepat. Namun mirisnya, perihal penempatan juga tidak lepas dari subjektifitas. Apalagi, seandainya kondisi jiwa yang sedang dalam kondisi tidak baik-baik an sich. Sudah barang tentu, pertimbangan akuratifnya benar-benar menuai ujian.
Segala macam dan jenis ujian yang barangkali pernah membuat jiwa dan raga tersungkur lemah, harus diterima apa adanya. Sambat boleh, bahkan perlu. Namun terus larut dalam kondisi sambat, tidaklah baik. Dalilnya sama dalam setiap kondisi, adalah tidak akan baik apa-apa yang "terlalu".
Di penghujung waktu senja kali ini, tentu harap tidak boleh dimusnahkan. Namun, tidak kemudian kita asal menaruh harap tersebut. Harap yang salah tempat, akan menemui kecewa. Sedangkan harap yang benar tempat, akan menjemput bahagia.
Kebahagiaan adalah muara segala hal yang kita lakukan, apapun profesinya, apapun strata sosialnya. Untuk meraih bahagia tersebut, tidak kemudian menghalalkan, apalagi mengharamkan berbagai strategi dan method-nya.
Salah satu strategi dan method, yang paling mendekati benar, hemat saya adalah "sadar atas posisi". Dengan sadar siapa terhadap posisi kita sesungguhnya, akan mengantarkan pada akurasi yang tajam, untuk me-rasa, berfikir, dan bertindak.
Mari kita lantik diri kita sendiri, setiap saat. Lantik berarti ceremony, ikrar, janji, pernyataan gamblang untuk menjadi apa yang sesungguhnya dapat kita lakukan, tentunya dengan berbekal menerima apa adanya, dalam hal self position.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 20 Oktober 2019.
Comments
Post a Comment