Menyerah bukan berarti kalah. Menyerah acapkali justru merupakan pilihan terbaik. (Kita) semua berhak untuk memberi penilaian terhadap diksi menyerah diatas. Bebas lepas memberi konotasi, dan free seporete menaruh persepsi terhadap menyerah itu.
Rimbunan derita, yang bercampur dengan suka-cita, akan selalu memberi sebuah konklusi. Se reliable-reliablenya teori, tetap saja itu hanyalah teori. Sekali lagi, itu "hanyalah". Begitu pula, apa yang ter-denotasikan pada kata "menyerah" tadi.
Terlempar dari kubangan sentimen sosial yang mainstream, tentu bukan hal yang baru. Bukan lagi satu atau dua kali, akan tetapi berjibun, tersusun dalam perbendaharaan tribun memory.
Resonansi kerap mengarah dan kemudian ber-impact terhadap disonansi. Harmoni yang di ingini, sesekali bahkan berkali-kali runtuh dari map batin. Exercise semacam itu, terkadang menguatkan, namun tidak menutup probability keterpurukan.
Yang jelas, ada atau tidaknya "ada" tersebut, terkadang perlu ditempatkan pada space bodoamat. Bukan karena bodoamat dalam arti umum, namun (kita) wajib sadar akan limitasi akal dan hati, pikiran dan perasaan.
Menyerah itu mempunyai hak opsional, layaknya duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Sama dengan hak memilih dan dipilih. Kerap kali (kita) gagu dalam menentukan, antara memilih untuk menyerah atau memilih untuk tetap melangkah. Keduanya, sama sekali bukan masuk dalam ketegori "kalah". Ini berlaku dalam semua hal, alias universal.
Repotnya, (kita) lebih terkendalikan oleh id/subconscious, yang memiliki dorongan dan desakam, dengan power yang tiada tara.
Lalu, (kita) yang mana?
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 29 Oktober 2019.
Comments
Post a Comment