Apa Ada Angin di Surakarta (7)
Seperti merayap-rayap dalam gelap. Seperti itulah, sejauh mata memandang. Terlihat berderet pengunjung kedai, saling berpapas-pasangan. Papas dan pasangan, adalah dua kata yang menyatu dalam frasa estetis malam minggu.
(Kita) disini, sedang menyaksikan pertunjukkan perbincangan hangat. Se-hangat peluk dalam pelupuk. Se-hangat sikap dalam dekap. Se-hangat teh manis dan selingan wajahmu yang geulis.
Hitam yang memekak, derap langkah yang membuncah, bercecer rasa yang tergali amat dalam. Menyusur ke lubang batin, yang tercekik ratapan panjang.
(kita) sedang melakukan something wrong, yang paling sengaja. Memberita dalam reportase kegaduhan rasa dan rasio. Merekah merah, jauh melebar ke selat-selat permukaan dinding kecemasan.
(kita) saat ini tengah mengupayakan, kepatahan usaha yang mulai terbangun, diatas derita yang paling bahagia. Semacam omelete yang melingkar, dalam piring coklat bermotif bunga anggrek.
Tentu saja, (kita) mau tidak mau harus menerima dengan lapang dada, berlusin-lusin waktu yang mengikis cita, cinta, dan kepalsuan sorot matamu yang menipu ceria.
(kita) yang masih bersimbol tanda tanya, here and now tengah menghadap kesunyian tanda seru.
(kita), dan pelupuk matamu, yang terurai lesu, oleh angin di Surakarta.
(kita) agaknya sudah lupa dan melupakan, seduhan kopi yang pernah kita pesan bersama.
(kita), sama-sama meminta maaf, atas segala kenyamanan yang telah terberi.
(kita), sama-sama telah ber-terimakasih, pada malam yang pernah menghujam.
Tenyata, duduk ditengah-tengah kerumuman papas yang berpasangan, sungguh derita yang sempurna.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 26 Oktober 2019.
Comments
Post a Comment