Skip to main content

Sudahlah (3)


Pada akhirnya, sorot mata yang menjadi sebuah pertanyaan, terjawab sudah. Kau hanya hadir sebagai satu dari sekian, yang hanya bermaksud menawar sepi. Sedangkan aku yang berniat hadir untuk melengkapi, tidak akan mungkin dapat membersamai. Karena kedatanganmu, bukan untuk itu.

Aku hanya bisa terduduk kaku, terkelupas rindu yang lugu. Ini benar-benar nyata terjadi, seperti apa yang pernah sahabatku katakan, bahwa harapan akan tumbang ditengah gelanggang kepedihan. Layaknya sayap yang patah sebelum mampu terbang menjulang, menyaksikan deburan ombak-ombak keceriaan.

Lagi-lagi ini salahku, yang melebarkan senyuman, beserta nafas panjang percintaan. Yaa, kau ini tidak bersalah. Ini murni kesalahanku, atas imajinasiku yang terbawa oleh ceritamu, oleh dongeng-dongengmu tentangnya. Sebuah cerita dan dongeng tentang kepedihan dan percintaan bersamanya, beserta harapan senyap tentang kebersamaan yang engkau sendiri rindukan, bukan yang kita rindukan.

Wajahmu memang kerap menggangguku, senyummu sungguh memaksaku mengatakan kalimat jatuh cinta, pun juga perhatianmu yang dengan telak menggeletak. Namun, sekali lagi, dirimu hanya datang kepadaku untuk mengusir sepi, bukan bermaksud untuk dilengkapi.

Kalau itu yang dirimu maksud, seharusnya kau terlebih dulu sadar, bahwa hati yang kau datangi, adalah serpihan perjalanan yang terpenuhi imaji, atas nama kerinduan.

Pergilah...kejar itu yang kau namakan sebagai kebaikan. Jangan pernah hiraukan diriku yang terlalu terpesona, dengan cita dan cinta.

Aku tentu berharap, untuk kau ketahui, kalau cerita yang kau hadirkan itu, pernah membuat pilu. Sebaiknya tentu, hanyalah diriku yang kau datangi untuk mengusir derita sepi. Pergilah..dan jangan sekalipun menoleh kebelakang. Biarkan diriku, menatap waktu yang berbuah luka dan derita.

Wallohu a’lam.
Sukoharjo, 20 Oktober 2019.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-