Pada akhirnya, sorot mata yang menjadi sebuah
pertanyaan, terjawab sudah. Kau hanya hadir sebagai satu dari sekian, yang
hanya bermaksud menawar sepi. Sedangkan aku yang berniat hadir untuk
melengkapi, tidak akan mungkin dapat membersamai. Karena kedatanganmu, bukan
untuk itu.
Aku hanya bisa terduduk kaku, terkelupas rindu
yang lugu. Ini benar-benar nyata terjadi, seperti apa yang pernah sahabatku
katakan, bahwa harapan akan tumbang ditengah gelanggang kepedihan. Layaknya sayap
yang patah sebelum mampu terbang menjulang, menyaksikan deburan ombak-ombak
keceriaan.
Lagi-lagi ini salahku, yang melebarkan senyuman,
beserta nafas panjang percintaan. Yaa, kau ini tidak bersalah. Ini murni
kesalahanku, atas imajinasiku yang terbawa oleh ceritamu, oleh
dongeng-dongengmu tentangnya. Sebuah cerita dan dongeng tentang kepedihan dan
percintaan bersamanya, beserta harapan senyap tentang kebersamaan yang engkau
sendiri rindukan, bukan yang kita rindukan.
Wajahmu memang kerap menggangguku, senyummu
sungguh memaksaku mengatakan kalimat jatuh cinta, pun juga perhatianmu yang
dengan telak menggeletak. Namun, sekali lagi, dirimu hanya datang kepadaku
untuk mengusir sepi, bukan bermaksud untuk dilengkapi.
Kalau itu yang dirimu maksud, seharusnya kau
terlebih dulu sadar, bahwa hati yang kau datangi, adalah serpihan perjalanan
yang terpenuhi imaji, atas nama kerinduan.
Pergilah...kejar itu yang kau namakan sebagai
kebaikan. Jangan pernah hiraukan diriku yang terlalu terpesona, dengan cita dan
cinta.
Aku tentu berharap, untuk kau ketahui, kalau
cerita yang kau hadirkan itu, pernah membuat pilu. Sebaiknya tentu, hanyalah
diriku yang kau datangi untuk mengusir derita sepi. Pergilah..dan jangan
sekalipun menoleh kebelakang. Biarkan diriku, menatap waktu yang berbuah luka
dan derita.
Wallohu a’lam.
Sukoharjo, 20 Oktober 2019.
Comments
Post a Comment