Pertanyaan tentang alam, sudah terlebih dulu ada, sebelum pertanyaan tentang manusia. Kekuatan yang muncul dari "pertanyaan", menjadi sebuah asbab dunia ini berjalan. Dalam arti, ketertarikan ataupun keterdorongan berjalannya dunia, berangkat dari perihal curiosity.
Sebegitu pentingnya jawaban, menyebabkan dunia bergerak-dinamis. Beragam dan berbagai soal-soal yang berkelindan dengan kehidupan, lambat laun terjawab. Dari mulai alam ini substansinya apa, sampai manusia ini sebenarnya apa.
Perkembangan dan pertumbuhan pengetahuan, ilmu, dan teknologi, tidak terelakkan, dari kehidupan manusia. Era post-modern, menjadi sudut kemanusiaan yang tengah dihadapi.
Ketidakberdayaan eksternal kehidupan, misalnya pada aspek ekonomi, politik, dlsb., kerap menjadi ketidaksanggupan psikologis kehidupan manusia. Kabar bahagianya, globalisasi yang dianggap memberikan ancaman, terkadang justru memberi sumbangan keuntungan.
Dalam menghadapi globalisasi, manusia kita (baca: Indonesia), memiliki defense mechanism untuk tidak tercerabut dari kebudayaan indigeneous-nya. Hal tersebut bisa kita lihat, dengan adanya booming musik dangdut bahasa Jawa, dan masih banyak beragam contoh lainnya.
Kabar buruknya, arogansi ilmu pengetahuan masih di amini oleh masyarakat Indonesia. Kalau dalam aspek teknologi, its okay. Namun, kalau dalam aspek kebudayaan, seharusnya dipertimbangkan lagi. Apalagi dalam aspek spiritualitas, tentunya debatable.
Masyarakat post-modern, kasusnya kerap bermasalah dengan kebermaknaan hidup. Makna hidup yang sejati, adalah yang transenden. Penyakit lama paradigma positivistik, masih menghinggapi. Positivistik adalah baik, apabila dilakukan untuk menatap yang non transenden.
Masalah kebermaknaan hidup ini, akan berimplikasi dalam berbagai dan beragam aspek. Sebagai contoh, manusia dunia sangat menggilai kekayaan, sehingga asumsi mengenai keuntungan menjadi way of life, sehingga kerakusan dan penindasan tak terbendung.
Maka tidak heran, produk pendidikan yang parsial, seperti memberhalai aspek kognitif misalnya, akan menghasilkan manusia yang culas. Pendidikan harus holisitik, tidak hanya akademik yang diunggulkan, namun juga morality-nya.
Moral dan intelektual yang unggul, hanya dapat diperoleh dari iklim yang belajar kondusif. Bukan hanya di ruang kelas, dimanapun tempat dan kapanpun waktunya, manusia terus-menerus belajar. Maka istilah yang cukup populer ialah, setiap orang adalah guru, setiap orang adalah murid, dan setiap waktu adalah belajar.
Belajar merupakan kebutuhan manusia, yang tidak akan mungkin bisa dihindari. Learning as experience yang pernah dikemukakan oleh John Dewey, merupakan belajar yang hampir dilakukan oleh setiap orang, baik yang terrencana maupun yang tidak terrencana.
Kata kunci dari belajar adalah perubahan. Baik perubahan mindset, sikap, sampai perilaku. Perubahan tersebut, mengarahkan pada sisi-sisi keunggulan dan kedewasaan.
Penting sekali, khususnya dalam perihal belajar ini, untuk kita mengenal "titik" dan "koma". Titik artinya pemberhentian, sedangkan koma maksudnya jeda. Akan tetapi, esensi titik disini tidak serta merta berhenti total, namun bersifat klasifikatif. Dan, koma disini tidak kemudian jeda yang abstrak, melainkan sistemik dalam nalar dan aksinya.
Tentu, masing-masing kita lebih memahami kapan dan bagaimana, harus ber-titik, sekaligus kapan dan bagaimana harus ber-koma. Juga yang tak kalah penting untuk diingat, bahwa kita perlu santuy dan rebahan, ditengah uncertainty kehidupan.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 22 Oktober 2019.
Comments
Post a Comment