Jarak yang membentang, antara Solo dan Yogya, memberi sebuah imaji, akan luka-luka yang sempat tergores.
Tentang sederet-berderet nama, yang sempat mengisi kemudian pergi. Sederet-berderet cerita, yang sempat datang kemudian pulang.
Ruang-ruang hampa perjalanan, memberi space bagi seluruh sudut relung hati untuk terisi oleh angin-angin yang berjejer. Angin yang merayap dalam keramaian yang paling sepi.
Jarak yang membentang, antara misteri, ilusi, dan kronologi, menaruh secercah anxiety bagi dada. Kelapangan dada beserta sekaliber experience-nya, membuka jendela imaji yang benar-benar baru.
Jendela imaji yang memendam sejuta kenang, yang disisipi oleh history map ruang, konteks, dan waktu.
Rindu memang berjodoh dengan temu, dan harap hanya match dengan nyata. Pertemuan dan kenyataan yang paling meluka, tentunya sempat menemu ceria. Walau pada akhirnya, tidak selalu bahagia.
Berjilid-jilid kenang, kini menggenang. Bercatat-catat luka, kini menganga. Betapapun kenang dan lukanya, tetap saja angin membelai suka cita lembaran barunya.
Antara Solo dan Yogya, ternyata masih ada (kita), yang dahulu sempat merangkai cita, lalu (kita) lenyapkan semuanya.
Sementara, (kita) kerap tertidur dalam resahnya, angin di Surakarta.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 29 Oktober 2019.
Comments
Post a Comment