Skip to main content

Rotasi Kesadaran

Sebuah lapak buku telah di gelar, pertanda roda ekonomi akan berputar. Uang akan berganti-pindah pemiliknya, dalam waktu yang relatif sementara.

Orang beli buku menggunakan uang, sedangkan penjual menerima uang, lalu memberikan buku sesuai permintaan pembeli. Begitu pula pemilik toko buku, ia membeli buku dari penerbit (kalau yang original), atau yang KW kalau copyan, sama-sama memakai simbolicum rupiah.

Pemilik toko buku, menyewa toko pakai uang. Membayar tagihan listrik, air, kebersihan, dlsb., pun menggunakan uang. Jadi, sekali lagi, afirmasi perihal uang yang berputar, berganti, berpindah kepemilikan selalu dinamis dan ber-rotasi.

Salah satu elemen perputaran uang, adalah sebuah usaha. Usaha ada banyak dan beragam jenisnya, salah satunya adalah toko buku. Walaupun jelas-jelas nampak di mata kepala kita, bahwa toko buku tidaklah se-ramai toko makanan dan baju. Katanya manusia itu makhluk rasional, tapi nampaknya lebih kentara sebagai makhluk kuliner dan fashion.

Salah satu contoh, misalnya Toko buku yang berdiri dikomplek pendidikan tinggi di salah satu kota di Indonesia. Toko tersebut, adalah usaha milik Mas G. Toko tersebut telah di rintis lebih kurang 8 bulan. Pada awalnya, belum menghasilkan omzet yang sesuai target, namun pada 2 bulan terakhir ini, toko buku itu sudah mampu ber-omzet sesuai target. Sampai-sampai, Mas G ini kemudian me-rekrut karyawan baru.

Toko yang kira-kira berukuran 30x10 ini, memiliki 6 karyawan, yang dibagi menjadi 2 shift, pagi dan sore. Entah ada angin apa, salah satu karyawan bernama S berkata "Mudah-mudahan, hari ini toko sepi". Rekan satu timnya, yang bernama K menimpali "Allohuma sepi, aamiin".

Toko yang pada waktu itu bisa dibilang tidak padat pengunjung, memberi kesempatan bagi S dan K, untuk bercua-cua dengan salah satu pengunjung, yang ternyata adalah kawan lamanya ketika di Desa.

S kemudian curhat, "disini aturan mainnya ambigu bro". Temannya tersebut lalu merespon, "loh loh loh, ambigu bagaimana?". "Ya pokoknya ada banyak yang tidak eksplisit gitu lah", Jawab S sambil memegang rambutnya yang 2 hari ini lupa tidak memakai shampo.
K pun memberi sinyalemen dari arah kejauhan, dengan kode anggukan kepala, pertanda menyetujui apa yang telah S sampaikan.

Sebagai pemilik toko, Mas G rutin sidak. Siang dan malam, tidak pernah absen sekalipun. Controlling yang dilakukan oleh Mas G, kerap membuat S dan K tidak nyaman. Bisa dilihat, saat Mas G pergi meninggalkan toko, mereka berdua tersenyum lebar.

Problem aturan yang ambigu, tidak hanya di temui oleh Mas S dan Mas K, akan tetapi disemua tempat dan sektor kehidupan. Dari yang lingkupnya kecil, sampai yang raksasa. Ambiguitas aturan, adalah akarnya. Namanya juga "aturan", yaa dibuat untuk "mengatur", tentu supaya efektif dan efisien targetnya.

Segala macam ambiguitas, sebenarnya dapat diatasi dengan philosophy Jawa. Misalnya, "rumongso biso", merupakan adagium yang berlawanan dengan "biso rumogso". Rumongso biso memberi arti bahwa, orang kerap sotoy terhadap sesuatu, jadi terkadang antara yang seharusnya dan senyatanya kurang matching. Sebaliknya, dengan biso rumongso, akan memberi arah yang segar terhadap target yang efektif dan efisien.

Akan tetapi, biso rumongso ini masih implisit, maka perlu di stabilo dengan aturan yang gamblang. Keberaturan, tentu berakar dan ber-hulu oleh karena konsensus. Namun, rahasia umum di masyarakat kita adalah "aturan dibuat untuk dilanggar", menjadi challenge tersendiri.

Tantangan untuk mencipta dan membangun kesadaran individu dan kolektif, bukanlah sesuatu yang ringan. Perlu kolaborasi dan sinergisitas seluruh pihak. Tanpa itu, maka potensi ke-ambyar-an pada manajerial, probabilitasnya tinggi. Terlebih, jika kekuatan values pada kedalaman pikiran pada orang sudah membudaya, maka perlu treatment yang khusus dan spesifik. Kalau perlu di dekonstruksi habis-habisan, untuk kemudian di rekonstruksi secara akuratif-kalkulatif.

Menempatkan sesuatu pada tempatnya, adalah pelajaran yang kerap kita langgar. Usaha untuk berbuat adil sejak dalam hati dan akal masing-masing pihak, akan sangat memungkinkan untuk kemudian tidak muncul lagi term nakal dan kejam, berupa "Allohumma sepi, aamiin". Dan tentunya, tidak hanya berlaku, untuk sektor toko buku saja, tapi hidup dan kehidupan universal, dalam sudut dan arena apapun.

Bukan hanya uang yang ber-rotasi sesuai garis edarnya. Namun, upaya untuk terus-terusan mendorong adanya input yang konstruktif bagi akal dan hati, harus menjadi agenda prioritas, khaitsuma kunta. Disitulah, rotasi kesadaran baru berlaku. Jika tidak, nonsense untuk bisa naik level, menuju fastabiqul khoirot.

Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 16 Oktober 2019.



Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-