Skip to main content

Initial Noting: Pikiran Kerdil.

Tepat pada halaman ke empat puluh, saya memberhentikan diri untuk membaca karya Simbah. Secara pasti, saya tidak mengerti kenapa. Mungkin, sebab ada hal yang akan saya tuangkan, sebelum saya sruput kembali hidangan.

Masih tentang Yogya yang istimewa ini, saya kemudian melanjutkan perjalanan batin, berusaha menembus batin sang Cahaya.

Sebenarnya, bukanlah kewajiban, kalau-kalau saya berkunjung ke Yogya ini. Hanya saja, kurang ilok jika hal yang menjadi prioritas, kemudian di tanggalkan begitu saja. Disamping, kalau tidak ke Yogya, paling-paling saya hanya rebahan santuy di kasur.

Diantara empat pasang mata sahabat saya, kemudian benak ini teringat pada beratnya keadaan didepan. Berat itu, menandai sulit, yabg berdekatan dengan tantangan dan godaan.

Keadaan di umur saya saat ini, yang sudah menginjak angka dua puluh empat, semacam tekanan tersendiri, untuk saya memulai ulang perjalanan, menuju jenjang pelaminan. 

Sebenaranya, ancang-ancang menuju pelaminan itu, saya siapkan sejak dua tahunan silam. Tapi, apalah daya manusia, yang melekat khoto wa nisyan ini. Ancang-ancang itu, semacam dipatahkan oleh kahanan demi kahanan.

Patahan ancang-ancang diatas, sesekali membuat saya tergeletak lemas diatas kasur. Membuat imaji memproduksi delusi, kadang pula terlintas untuk mengakhiri hidup ini. Itu alamiah semua manusia. Kalau Anda belum mengalami semacam ini, mungkin kemanusiaan Anda, saya pertanyakan.

Putus asa terkadang sulit terhindari, saat patah hati, hadir tak terbendung lagi. Air mata dhohir memang sulit ditumpahkan, hanya saja air mata bathin, jelas nyata adanya.

Akan tetapi, semua itu perlahan menepi. Ketika saya memaksa diri, untuk terus berjalan menapaki tanda tanya kehidupan. Saya hanya berbekal yakin kepada yang Maha dari segala Maha. Bahwa, semuanya akan baik-baik saja. Walaupun, konflik batin terus menerus mengeja.

Saat terpuruk jatuh tak beraturan, saya sesekali ingat apa yang pernah di katakan sahabat saya. "Jangan sampai kita terjebak oleh kekerdilan pikiran, yang itu justru akan menghabatmu menapaki kedewasaan".


Wallohu a'lam.
Yogyakarta, 27 Januari 2020.


Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-