Adakalanya, dalam sebuah lingkup sosial akan ada terdapat percik harmoni, ataupun sebaliknya, ialah letupan disonansi. Hal tersebut nampak berlaku, dalam seluruh lingkup, besar maupun kecil.
Manusia sebagai anima intelektiva, akan terus menerus berjalan diatas alam probability. Ia, selalu alamiah mencari, menemukan, mencari kembali, menemukan kembali, dan seterusnya.
Curiosity yang melekat pada anima intelektiva ini, adalah keunikannya, dibanding anima vegetativa dan anima sensitiva.
Proses demi proses yang dilalui makhluk bernama manusia ini, sampai detik ini, barangkali tengah mencari kembali kesejatian personalitasnya. Jika personalnya telah ia temukan, maka kemudian ia akan beralih menuju konsensus identitasnya.
Per-hari ini, salah satu "berhala" baru dimuka bumi yang paling gagah perkasa, adalah demokrasi. Asumsi dasar yang dimiliki demokrasi, ialah term setara. Semua setara, boleh ini boleh itu. Masing-masing kita, boleh juga "keluar" dari asumsi diatas, toh ini demokrasi.
Alih-alih tampilan gagah dari demokrasi dapat menghadirkan deklarasi human right, namun tetap saja ia menciptakan klasifikasi baru. Yang jelas-jelas narasi substansinya bukanlah begitu.
Demokrasi jelas (katanya), sebuah antitesis dari monarki. Kaum pemuja demokrasi, sangat anti dengan diktatoritas. Padahal, masing-masih diantara keduanya, masih menyisakan korban secara tersirat.
Seperti judul dimuka, bahwasanya tembok itu, terkandung arti yang konotatif. Tembok itu memisahkan, mengalienasi korban, mengkerdilkan lawan, menghancurkan modalitas kesetaraan dengan style baru, menghadirkan ketercerabutan potensialitas nafas estetis kekuasaan.
Realitas kekinian, khususnya di Indonesia yang menggunakan sistem demokrasi ini, tidak sedikit bermunculan "kerajaan" dalam bentuk wacana maupun gerakan.
Bisa jadi, beberapa kelompok manusia yang memunculkan wacana dan gerakan itu, tengah sumpeg dengan demokrasi itu. Barangkali pula, mereka-mereka itu, tengah dilanda kerinduan kebudayaan, yang sempat membawa kharisma kekuasaan milik Raja.
Tidak berlebihan, jika one man one vote yang populis dan sampai hari ini menjadi kebanggan seluruh lapisan, suatu saat nanti, akan lenyap oleh tangannya sendiri. Sebab, yang nantinya akan berbicara banyak adalah karakter, bukan lagi sistem. Namun, bisa jadi bukan itu. Karena alamiah anima intelektiva, selalu hidup, tumbuh, dan berkembang, tak lekanh oleh zaman wal makan.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 22 Januari 2020.
Comments
Post a Comment