Sejauh yang saya ingat, judul tulisan
diatas merupakan judul terpanjang sepanjang sejarah saya menulis esai.
Sebelum
menulis esai ini, per-3 hari terakhir saya “dipaksa” oleh keadaan, untuk
menulis dengan bahasa “kaku”, orang menyebutnya bahasa akademik.
Sebagai orang
kampung yang terbiasa dengan “ndablong Banyumasan”, agaknya lumayan kerepotan
untuk menulis dengan menggunakan bahasa kaku yang saya sudah sebutkan diatas.
Bagaimanapun juga, kita tidak bisa memungkiri, bahwasanya bahasa Ibu sangatlah
determinan terhadap gaya komunikasi, bahkan style berfikir seseorang.
Kita bisa
membuktikannya dengan datang ke sebuah burjo, yang mana mayoritas dikelola oleh
orang dengan bahasa indonesia yang berlanggam Sunda. Walaupun, pengelola burjo
tersebut, membuka usahanya di Solo selama bertahun-tahun.
Pada
paragraf pertama diatas, kita bisa menyimpulkan secara sementara, bahwasanya
bahasa Ibu yang terwariskan secara tersirat dan tersurat itu, merupakan satu
dari sekian banyak nafas kebudayaan semesta.
Agaknya tidak berlebihan, jika
saya maknai salah satu nafas kebudayaan semesta itu, adalah kode halus dari
sang pencipta, agar manusia sebagai pelaku yang cukup signifikan pada arena
kehidupan ini, untuk tidak sama sekali melupan sosok Ibu. Ibu disini, dalam
pengertian biologis, psikologis, sosiologis, politis, geografis, bahkan
ekonomis.
Pertama,
Ibu dalam pengertian biologis, sederhananya berarti Ibu kandung. Ibu yang
mengandung, melahirkan, mengasuh, mendidik hingga kita semua dapat membaca dan
menulis, sekaligus menaruh andil besar dalam tumbuh-kembang perjalanan hidup
kita sampai sekarang ini.
Tentunya, disini Ibu bukanlah super powernya. Ibu
tetap saja harus melakukan gerak kolaboratif dengan Bapak, maupun lingkaran
terdekat dan terjauhnya.
Kedua,
Ibu dalam artian psikologis. Mengandung arti, siapapun dan apapun itu, yang
memiliki variable kepada kehidupan
kejiwaan kita.
Jiwa memang tak nampak, namun sangat nyata adanya. Sebagai
contoh, saat kita membayangkan Presiden sedang duduk membaca Undang-Undang KPK
19/2019 dalam benak kita, maka bisa kita bayangkan kerut wajah Pak Jokowi itu.
Walaupun dalam fakta inderawinya, belum tentu sang Presiden itu membaca. Akan
tetapi, proses kita saat membayangkan
itulah, jiwa nampak sangat nyata keber”ada”nya.
Jadi, siapapun dan apapun itu,
dapat menjadi “Ibu” kita, dalam kaitannya yang bersifat mencipta variable terhadap
kehidupan kejiwaan.
Ketiga,
Ibu sosiologis. Carl Gustav Jung, memiliki tesis terkait “ketidaksadaran
kolektif”. Belum lama ini, kita dihebohkan dengan munculnya “keraton agung sejagat”,
yang merupakan fiktif.
Orang kemudian bertanya, kenapa hal yang fiktif itu,
bisa merekrut lebih 200 orang. Itulah gejala ketidaksadaran kolektif. Hal mengenai
ketidaksadaran kolektif itu, juga didukung dengan teori “sentimen masyarakat”,
milik Emile Durkheim.
Ia menjelaskan bahwa, kekuatan sentimen sangat
berpengaruh terhadap gejala sosial. Hal tersebut, juga bisa berkaitan dengan “conformity”
yang dusampaikan oleh Albert Bandura.
Hemat saya, akan selalu ada “Ibu
Sosiologis” dimana kita hidup. Tentu pinter-pinternya kita, mau dibawa kemana
diri kita masing-masing. Kalau mau wangi, akrablah dengan tukang parfum, dlsb.
Keempat, Ibu politis. Kekuasaan adalah
barang yang kelewat penting dalam kesejarahan manusia. Disini, saya memaknai
kekuasaan itu penjelmaan kholifatulloh fil ardh, yang mana hal ini, merupakan
second job manusia pasca ibadah vertikal. Yang namanya “wakil”, jelas menaruh
signifikansi yang luar biasa.
Sebab, ia mengandung kebebasan dalam berfikir,
merasa, dan berbuat. Mau berfikir baik bebas, mau merasa buruk bebas, mau
berbuat baik dan buruk juga bebas.
Kebebasan yang melekat pada manusia ini,
seringkali dibenargunakan, pun tidak menutup kemungkinan disalahgunakan. Semua
jelas “sewudele” atau free will, manusia itu sendiri.
Tidak bermaksud
menyalahkan sejarah, hanya saja kita tidak bisa menafikan, bahwasanya Ibu
politis bangsa kita itu, per-hari ini masih ber-Ibu pada yang tidak seharusnya,
walaupun alhamdulillah-nya, kini nampak pelan-pelan kita beranjak menuju kepada
Ibu politis yang seharusnya.
Tentu, masing-masing dari kita akrab dengan
nama-nama seperti, Machiavelli, Hobbes, Muhammad, Bung Karno, dst., yang jelas
melukis warna terhadap paradigma masyarakat kita.
Kelima, Ibu geografis. Kalau soal letak
dimana manusia hidup dalam arti fisik, sangat mudah dijelaskan.
Jelas berbeda
gaya hidup, sampai bahasa antara orang Inggris dengan orang Solo. Beda antara
manusia pesisir dengan manusia pegunungan. Beda Kota beda Desa, dst.,
Maka
disini, term Ibu Kota yang melekat pada Jakarta, jelas merupakan simbolitas
yang sudah mengakar dibenak kita. Apalagi DKI Jakarta itu, merupakan magnet dalam
sadar maupun tak sadar kebudayaan kita, dari mulai cara makan, berpakaian,
sampai perkara ranjang.
Ibu geografis ini, jelas mempunyai variable yang cukup
dominan. Maka tak heran, beredar di masyarakat kita, “kalau mau nyari ilmu ya
ke timur, misal akan nyari uang ya ke barat”.
Hal tersebut, juga sangat bisa
jadi pertimbangan “akan dibawa kemana diri kita”, sebab iklim geografis jelas
dan tegas merupakan variable yang signifikan bagi hidup kita.
Keenam, Ibu ekonomis. Ini agaknya 11-12
dengan biologis, karena masih berkelindan dengan metabolisme dan siklus tubuh.
Konsumsi
4 sehat 5 sempurna, jelas berbeda dengan 1 sehat 1 sempurna. Saat masih MA,
ustadz saya di madrasah membolehkan kami di kelas membawa minuman. Katanya,
agar otak kita tidak kekurangan hak nya, demi optimalnya proses belajar.
Dari contoh
sederhana ini, kita bisa menariknya pada ranah yang makro. Misalnya perilaku korupsi
elite politik di Indonesia. Mereka secara ekonomis jelas memiliki standar 4
sehat 5 sempurna, sebab gajinya jelas diatas jauh dari UMR, itulah
kontradiktifnya.
Mereka yang korupsi memang sehat, tapi tidak ‘afiat. Bisa jadi,
sudah ada pembiasaan dari padanya, praktek haram yang terus susul-menyusul.
Syahdan,
kiranya masing-masing kita, membekali “Ibu” yang beraneka macam. Perbedaan memang
fitrah, bhineka itu alamiah, akan tetapi nyatanya, kesadaran akan hal tersebut an sich, belumlah
cukup.
Sebab, arus besar yang tampil dipermukaan, masih diduduki oleh mereka
yang gagal paham terhadap orientasi. Mereka-mereka, semacam menempatkan dunia
sebagai pangkal dan ujung, hulu dan hilir.
Padahal semestinya, dunia
diproporsikan, sebagai alat untuk menuju yang setelahnya. Dan, sekali lagi,
itulah urgensitas menyadari betul akan variabililitas keramatnya “Ibu”.
Tapi,
camkan pula bahwa, yang susah itu menahan, yang berat itu memendam. Dan, yang
repot itu melampiaskan.”
Maka, akan lebih komprehensif lagi jika kita, senantiasa mentadaburri firman Tuhan, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.” (al-Qashshash: 77).
Wallohu a’lam.
Sukoharjo, 20 Januari 2020.
Comments
Post a Comment