Skip to main content

Januari, 2020.

Januari, 2020.

-Antara Solo-Yogya.
Pada akhirnya, aku harus mengungkap berjuta pendaman rindu. Sebuah cinta yang tersemai sejak dulu, yang telah terlewat sekian malam, dan sempat terlampaui larut bersama kalut.

Saat itu, aku langsung memintanya, untuk bertemu. Namun, dirinya tidak berkenan. Sebab, saat aku memilih hari, saat itu juga dirinya sudah berjanjian dengan rekannya.

Kemudian, aku mengirimkannya pesan, bahwa aku akan menelponnya. Akan tetapi waktu itu, aku tertidur pulas, ditengah kondisi badan yang belum sepenuhnya lekas.

Sesaat setelah mata terbuka, saat itulah aku mulai merangkai kata dalam senyap. Satu persatu kalimat aku susun, sebagai permulaan perbicangan. 

Sampailah pada sebuah tulisan, yang mengangkat tema tentang pengungkapan perasaan. 

"Aku sebenarnya kesulitan membahasakan dengan sempurna, pada intinya, aku sudah menaruh cinta padamu sejak 2014, namun karena berbagai hal, kemudian aku putuskan untuk memendam dan melenyapkan perasaan itu". 

Bersamaan dengan pesan itu, sengaja aku lampirkan lagu Selindung, karya Fiersa Besari.

Selang satu jam kemudian, ia membalas pesanku. Katanya begini, "Aku sebenarnya, juga mencintaimu. Rasa itu muncul mulai tahun 2015, aku tidak tahu persis bulan keberapa, yang jelas rasa itu tumbuh begitu saja".

Aku pun membalas pesannya, "Kenapa engkau tak mengatakannya dari dulu, agar kita rajut cinta ini secepatnya?".

Dia kemudian membalas, "bagaimana aku mengatakannya, sedang engkau tau, bahwa aku ini pemalu".

Dia menambahkan, "Aku sudah menunggumu, sampai akhir 2019, akan tetapi aku tau, dirimu tengah merajut cinta bersama yang lain, maka pada akhirnya, aku hempaskan rasa itu, agar tidak semakin sakit hati kepadamu".

Melihat pesan darinya tersebut, aku pun tercengang. Antara bahagia dan sedih, lebur menjadi satu. Aku terdiam, merenungkan perihal apa yang seharusnya aku lakukan selanjutnya.

Badanku terasa lemas, perasaanmu pun cemas, sedang pikiranku membeku. Akhirnya, aku memutuskan untuk membagi cerita ini, bersama temanku. Temanku ini orang Lamongan yang belum lama melangsungkan pernikahan. Aku kira dialah orang yang tepat untukku membagi kisah ini, sebab jelas ia lebih berpengalaman soal hati dan perasaan.

Setelah berbincang-bincang dengan temanku itu, aku kemudian memutuskan untuk mengajaknya bertemu. Dirinya tengah studi di Yogya, sedang aku di Solo.

Maka aku putuskan untuk menemuinya. Sewaktu diperjalanan, kecemasan akan patahnya cinta jelas terasa, apalagi dirinya sempat memberitahuku, bahwa ia masih sedang menata hati untuk cinta yang baru. 

Sajak-sajak pun muncul tiba-tiba dalam benak ini, yang bisa aku lakukan hanya menuliskannya di blog pribadi. Berharap, dirinya suatu saat membaca dan meresapinya. Tentang rasaku dan keapadanyaanku itu.

Setelah menempuh jarak Solo-Yogya, aku kemudian menginap ditempat rekanku. Untuk paginya, aku bertemu dengannya.

Saat pagi tiba, kecemasan itu tetap ada. Sulit untuk dielakan begitu saja. Namun, tetap harus aku hadapi sebagai kenyataan. Jawaban tentu ada dua, adalah penerimaan atau penolakan. Antara tumbuhnya cinta, atau kepatahan hati.

Sampai pada akhirnya, aku sanggup bertemu dengannya. Kita memulai pertemuan itu dengan basa-basi, sampai cerita yang sempat terlewat dahulu.

Namun, obrolan yang sudah berlangsung dari jam sepuluh samai jam sebelas, tiba-tiba hening. Sesaat setelah ia mengatakan, bahwa rasa cinta padaku dahulu, sudah tidak ada lagi. Semuanya lenyap.

Sekitar 10 menit aku hanya terpaku, tak berbicara sepatahpun. Walaupun pada saat itu, dirinya memanggilku. Akhirnya, aku pun meninggalkannya, tanpa sepatah katapun.

Saat aku berjalan keluar ruangan, dirinya mengatakan, "aku minta maaf ya". Dengan berat kata, aku bilang padanya, "tidak ada yang salah disini".

Jarak antara Yogya-Solo, aku tempuh dengan kemalangan. Pandanganku kosong, yang aku tatap hanyalah perihnya rasa. Yang aku dengar saat itu, hanyalah hilangnya cinta.

Solo, 30 Januari 2020.








Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-