Terpaksa, saya harus optimis. Walaupun perakalan dan perhatian saya, terus nggurut untuk pesimis.
Saya menyadari dengan sepenuhnya, bahwa seluruh jenis pilihan, selalu ada konsekuensinya.
Jadi, kalau tidak minus ya pasti plus. Bila tidak negatif ya positif. Misal tidak yes, ya berarti no. Dan seterusnya, sampai modar.
Cemas, gelisah, gundah, dan segala jenis dan macam keresahan, itu normal-normal saja. Wong saya dan kita, sama-sama punya hati, punya akal. Tapi, kalau larut, ya perlu diajukan ke konselor, psikolog, kalau perlu pak kyai setempat, untuk di refresh.
Menghadapi situasi yang tidak mengenakan pada batin, manusia-manusia banyak metodenya, pun ragam approach-nya.
Ada yang dzikir, ngalamun, ngopi, ngrokok, pura-pura bercanda, bikin story WA, dan seterusnya. Semua itu, boleh-boleh saja, toh tidak melanggar UUD '45, PERPU, PERDA, dan sejenisnya. Pun tidak dilarang oleh Agama. Asalkan tak kelewat batasnya.
Optimisme itu memang harus, tapi juga perlu diperhatikan kadarnya. Kalau kelewat optimis, bisa jadi sombong. Jika terlampau pesimisi, bisa mewujud putus asa.
Untuk memastikan indikator kadar keoptimisan ini, saya kira belum ada instrumen yang valid maupun reliable. Akan tetapi, masing-masing kita toh punya "kuda-kuda" yang unik pada masing-masing diri.
Kuda-kuda ini, adalah "ilmu Ngelmu iku kalakone kanthi laku". Maksud saya, ilmu itu bisa dipahami/ dikuasai harus dengan cara, cara pencapaiannya dengan cara kas, artinya kas berusaha keras memperkokoh karakter, kokohnya budi (karakter).
Sebenarnya, tulisan ini tak akan berhenti sampai disini, kapan-kapan kita lanjutkan di kesempatan sambat lainnya.
Wallohu a'lam.
Yogyakarta, 27 Januari 2020.
Comments
Post a Comment