Setelah menempuh satu setengah jam perjalanan, sampailah saya di Yogya. Tepat jam sembilan malam, saya bertolak dari Solo, usai menyantap secangkir kopi hitam di kedai, tempat persembunyian saya sementara ini.
Di Yogya, saya langsung meneduh di tempat nongkrong mahasiswa, namanya Basa Basi. Ditempat itulah, saya menemui kawan-kawan yang tak asing dibenak. Mereka adalah sahabat terdekat. Mereka itu, mantan santri ponpes masyhur.
Seperti biasanya, kita ngoming ngalor-ngidul, ngetan-ngulon, kiwe-tengen. Dari mulai bisnis, sampai perkara kamar. Semuanya kita omongkan, secara seksama dan dalam tempo yang cukup lama. Lebih kurang, omong-omongan itu kita mulai jam setengah sebelas, sampai jam setengah tiga.
Kunjungan saya ke Yogya, adalah yang kesekian kali. Namun, saya tidak bisa memungkiri, bahwasanya keistimewaan Yogya, selalu menyita perhatian dan perakalan saya.
Perhatian dan perakalan itu, terarah kepada sahabat-sahabat saya disini. Lelaku mereka, menunjukkan kemarahan yang amat dalam terhadap keadaan yang dialaminya.
Kebencian mereka, para sahabat saya, bukan hanya ditujukan kepada sisi vertikal, maupun horisontal. Mereka pun, menyimpannya dalam diri mereka masing-masing.
Kita semua jelas mengerti dan paham, bahwa kebencian itu bukanlah sesuatu yang asing. Bahkan sudah terlewat akrab dalam peradaban kita. Namun, yang saya maksud dari kemarahan dan kebencian disini, adalah tentang bagaimana mereka-mereka para sahabat saya memperlakukan diri mereka bak anima sensitiva.
Babagan terkait anima sensitiva ini, telah dibahas oleh mba Aristoteles. Anda bisa buka google, kalau penasaran. Yang jelas, nampak di jiwa mereka, hanya terdapat babagan hewani, dan nir-intelektiva, sebagaimana yang senormalnya manusia.
Saya sama sekali, tidak sedang nggrundengi mereka. Saya sekadar merekonstruksi, sekelumit kahanan masyarakat kita. Yang ternyata, tak seindah yang tampak. Tak seindah yang muncul dipermukaan.
Dalam tulisan ini, saya tidak berani memberikan saran apa-apa. Mengingat, saya sendiri bukanlah siapa-siapa, dalam hal apapun juga.
Disini, saya sekadar menaruh camkan kepada diri saya, mungkin juga pada Anda yang membaca. Bahwasanya, bawaan pada diri manusia itu, bukan untuk dilampiaskan an sich.
Wallohu a'lam.
Yogyakarta, 27 Januari 2020.
Comments
Post a Comment