Skip to main content

Luka itu Anugerah

Masing-masing kita jelas pernah merasakan luka. Baik itu perihal cinta, cita-cita, keluarga, teman sebaya, kuliah, sekolah, pekerjaan, dan lain sebagainya. Berbicara tentang luka, semacam tidak akan ada habisnya. Sebab, sejatinya manusia diciptakan, adalah untuk di coba.

Manusia yang terlahir ke dunia, memang berdasar cinta Tuhannya. Namun, cinta Tuhan itu, belum kemudian sepenuhnya, mampu untuk diterjemahkan dengan baik oleh manusianya. Semua pemahaman yang baik, memerlukan proses. Jalannya proses tersebut, tentunya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Seperti halnya saat kita sedang makan, maka perlu berkali-kali suapan, tidak langsung sekaligus satu piring kita lahap.

Luka memang sangat erat kaitannya dengan penyembuhan. Alamiahnya manusia, saat terluka, maka ia akan mencari penyembuhnya. Namun, hal yang perlu diperhatikan disini, adalah terkait proses penyembuhan itu sendiri. 

Masing-masing kita, saat terluka, tentu mengidamkan sembuh seketika. Padahal, untuk mengobati tangan yang tergores pisau pun, membutuhkan waktu untuk sampai pada mengering atau sembuh. Tidak ubahnya seperti pada hati yang terluka. Ia membutuhkan waktu, untuk kemudian bisa sembuh.

Setiap luka yang mendera manusia, adalah wajar adanya. Kita tidak mampu menatapnya sebagai sesuatu yang mengerikan. Sebab, setiap aktifitas memiliki konsekuensinya. Konsekuensi tersebut, jelas memungkinkan pada dua hal besar, ialah sesuai harapan, atau kebalikannya.

Ketika masing-masing kita telah menyadari, bahwa luka itu wajar adanya, maka seminimal-minimalnya, kita tidak kemudian mensikapi luka itu secara berlebihan. Hal yang bijak untuk menghadapi luka, adalah sikap penerimaan. Menerima apa adanya luka itu, sebagai titik pijak pembelajaran menuju pendewasaan.

Percayalah, akan selalu ada pembelajaran dalam setiap perjalanan. Bisa itu berangkat dari pengalaman buruk, maupun pengalaman yang baik. Semoga, masing-masing dari kita, dapat senantiasa belajar dari pengalaman, walaupun pengalaman itu berupa luka sekalipun. 

Memang menyakitkan, namun bagaimanapun juga, itulah kenyataan. Karena kenyataan ada, untuk diterima dan dihadapi, bukan untuk ditolak dan dihindari. Ayo, bangkit. Lihatlah dunia selebar semesta. Sadarlah, banyak sekali orang-orang disana, yang terpuruk dan tersungkur jatuh, lebih dari apa yang engkau alami hari ini. 

Dan ingatlah, orang-orang yang mencintaimu disana, yang jelas nampak menantikan senyumanmu dan kabar indah darimu. Mari, jadikan luka, sebagai titik pijak untuk menggapai mimpi-mimpi yang sempat tertunda.

Wallohu a’lam.
Sukoharjo, 27 Januari 2020.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-