Terseok-seok dalam Luka
(Sebuah Perjalanan mengurai ketidakpastian) Perjalanan pada Rentang 2014-2020.
"Bukan maksudku mengais kembali luka itu, hanya saja dalam hati terdalamku kini, ternyata masih ada namamu, Cahayaku."
-Berawal dari September, 2014.
Sebenarnya, kata hati selalu mengatakan, bahwa cinta dan rindu adalah candu yang perlahan membodohi diri.
Kemudian, pikiran pun mengafirmasi, bahwa cinta dan rindu itu menghambatmu meraih prestasi yang selama ini engkau ingini.
Aku pernah melukai, dan sempat pula terluka oleh sebuah makhluk bernama cinta. Akan tetapi, pertimbangan perasaan dan pikiran itu, enyah dan lenyap begitu saja, saat aku melihatmu dari balik punggung teman-temanku.
Aku adalah orang yang tidak sepakat dengan cinta pada pandangan pertama. Karena bagiku, cinta itu tumbuh secara perlahan, menyisir sedikit demi sedikit menuju relung terdalam.
Saat melihatmu pada saat itu, aku sendiri tidak tahu persis akan apa yang terpikirkan dan apa yang terlintas dipikiran. Mungkin, itu hanyalah sebuah kekaguman saja, yang bisa jadi menghilang seiring sejalan dengan waktu yang terus berjalan.
Seiring dengan berjalannya kaki di kampus tempat kita sama-sama menggantungkan pendidikan, aku baru bisa sekadar tahu akan namamu melalui ajang perkenalan.
Mungkin, dari sekadar mengetahui nama itu, kisahku dimulai. Dari nama yang telah aku ketahui itu, kemudian ada dorongan dari jiwa untuk mengetahuimu lebih jauh.
Cara yang paling aman untuk mengenalnya, adalah melalui mesin pencari di media sosial. Cara ini aku pilih, agar teman-temanku tidak meengetahuinya. Maklum saja, aku ini di taqdirkan sebagai manusia pemalu.
Media sosial memang satu dari sekian banyak ruang, untuk mengabadikan momen. Dari sana, aku menuliskan namamu di mesin pencarian. Dan hasilnya, aku temukan engkau yang aku cari.
Disana, aku bisa mengerti, dimana rumahmu, tanggal lahirmu, foto masa sekolahmu, tak terkecuali status-statusmu itu.
Dari media sosial ini, aku diam-diam menyimpan salah satu fotomu. Sebuah foto yang sempat dirinya jadikan profil. Kesanku pada foto itu, membawa imajinasiku kepada rembulan yang tengah bersinar. "Cantikmu halus", begitu kata batinku saat itu.
Setelah mampu mengetahuimu walaupun sedikit, ternyata itu cukup menyita perhatianku. Malamku terasa lebih romantis, pagiku terasa lebih manis. Mungkin, waktu itu aku mengidap kasmaran padanya.
Namun, lagi-lagi laku harus berurusan dengan waktu yang terus berjalan. Waktu selalu memberi ruang untuk memilih, mana yang akan dilakukan dan mana yang akan dibiarkan.
Setelah beberapa bergantinya siang dan malam dalam sepekan, hati yang mengharap sebuah obrolan bersamanya, tak kunjung aku dapatkan.
Barangkali, karena belum ada kesempatan yang mendukung. Terlebih, aku yang kurang berani memulai sebuah obrolan.
Yang bisa aku lakukan kala itu, adalah sesekali memandangmu dari kejauhan, bersama buku-buku, meja, dan kursi di ruangan.
Akan tetapi, pada bulan Oktober, kemudian aku memberanikan diri, lebih tepatnya nekad untuk mencari bahan obrolan bersamanya.
Saat itu, muncullah ide untuk bertanya basa-basi perihal pilihan kampus. "Kok bisa kuliah disini?", tanyaku padanya. Namun, basa-basi yang aku upayakan itu, hanya berbuah senyuman berserta kediaman.
Setelah dirinya tersenyum, ia kemudian meninggalkanku bersama teman-temannya. Momen itu, jelas menjadi bagian dari perjalanan sunyiku, menapaki satu persatu tangga rindu dalam diam. Diammu dan senyummu waktu itu, membekas prasasti tanda tanya pada batinku.
Solo, 29 Januari 2020.
Comments
Post a Comment