Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2020

Seloroh Gerimis

Langit Surakarta masih mengguyur.. Persis, seperti pada sore dan malam sebelumnya. Bisa jadi, ia sedang mengabari... Tentang semesta yang sedang gersang, butuh suatu pelukan. Bukan untuk menghangatkan, tapi sebagai wujud nyata kebersamaan. Tak berlebihan, bukan?  Jika satu persatu dari mimpi paling nyata, untuk sama-sama kita tempuh kembali. Tentunya, dengan keberanian yang jauh melampaui. Tak apa. . . Bila itu sulit diawali. Minimal, engkau tidak gagu. Terutama, pada suasana hati yang meragu. ***Solo, 27 Februari 2020.

Ruang Interupsi (12)

Ada dua master key, dalam konteks perubahan behavior. Pertama, circle pergaulan. Kedua, ketahanan berbuat sesuatu yang konsisten. Dua master key diatas, adalah modal dasar untuk menghasilkan output. Katakanlah, profesi tertentu. Hal tersebut, dengan mudah kita temui di sekitar. Rata-rata, orang akan menjadi "orang", sekitar usia 30-an. Tentu itu mean-nya, dan pasti ada juga terdapat kekhasan pada orang tertentu. Science modern, lambat laun memang mampu "meneropong" alur dan pola semesta. Namun, science tetaplah science, yang selalu dinamis untuk bertumbuh. Persis, seperti gerak irama perjalanan, yang kerap tegak atau terkatung-katung.  Maka tak heran, jika "madzhab post", tak mau menetapkan "definisi tunggal". Sebab, terkadang pem"baku"an kerap kali mencipta ke"beku"an. Syahdan, master key; "circle pergaulan" dan "ketahanan berbuat", berjalan amat dinamis. Terutama, dalam konteks pe...

Tanpa Nama

Terlempar senyap, tersesat jawab, terdampar dalam binar. Entah, semesta kini sedang bagaimana... Tidak satupun keterangan menghinggap. Detak yang menggertak, mengelupas dada yang rindu hadirnya Juwita. Kini, bagaimana lagi daku mengeja rasa tak bernama. Sedang bilur, terus mengemuka tanpa mengenal sebuah ruang kosong sepanjang jalan. ***Solo, 25 Februari 2020.

Ruang Interupsi (11)

Naik dan turunnya kondisi "privat" pada individu, sudah pasti berkelindan dengan kondisi "publik" society. Hal tersebut, berlaku juga sebaliknya. Bahkan, seorang mufasir yang mana kita claim sebagai orang yang amat dengan Tuhan pun, "produk" kinerjanya bisa "terwarnai" oleh rezim. Entah itu yang bersifat reaktif, maupun proaktif.  Dalam menjalankan hidup ini, pilihan dan konsekuensinya selalu ada. Misalnya, konsep antara "mengikuti arus", dengan "melawan arus", keduanya bisa saja memunculkan bias makna.  Bias makna lainnya misalnya, pada konteks korelasi individu dan masyarakat.  Adalah kita yang akan mempengaruhi masyarakat, atau masyarakat yang mempengaruhi kita?.  Atau malah, tanda tanya tersebut salah penempatan? Jalan moderasi untuk menjawab bias makna tersebut, barangkali ada pada QS. Ali Imron, ayat 104. Namun, yang menjadi note menjalankan titah Tuhan itu, hemat saya tidak kemudian ekslusif...

Ruang Interupsi (10)

Wacana medsos sebagai cara alternatif untuk mendekatkan yang "jauh", jelas lebih terasa, jika dibandingkan dengan anekdot "menjauhkan yang dekat". Keriuhan yang terdapat disana, tidak selalu berkonotasi negatif sebenarnya. Karena, asumsi bahwa "selalu ada yang positif dalam kubangan negatif", sifatnya konstan. Walaupun medsos bisa kita simpulkan sebagai representasi kenyataan, namun sebenarnya tidak dalam seratus persen benar. Sebab, ruang medsos amatlah "liar" sebagai approach, untuk menampilkan yang bukan senyatanya. Kita sama-sama pernah menemui, orang yang dalam kenyataan itu tertutup, bisa sangat terbuka ketika ia memainkan jempolnya di medsos. Begitupun berlaku sebaliknya, dan ada pula yang memang "sama". Dibalik ke "maya" an, terdapat ke "nyata" an. Alam memberikan interupsi kepada kita melalui batin, untuk terus mengikuti prinsip kebijaksanaan. Interupsi untuk melakukan prinsip kebijaksan...

Ruang Interupsi (9)

Dalam rentang tertentu, ruang discourse harus dibuka selebar-lebarnya. Minimal, saat ditemui indikasi-indikasi kejumudan berfikir dan bergerak. Kita tidak bisa menampik, bahwasanya potensi gerak yang berdampak itu, dimulai dari wacana yang masif.  Kejumudan yang mengerang, tidak boleh di biarkan. Sebab, jalan sejarah kemanusiaan, acapkali akan membenarkan apa-apa yang terulang. Persis, seperti konsep propaganda ala Nazi dahulu. Walaupun nalar evaluatif itu sifatnya alamiah, namun hal tersebut tidak selamanya terarah. Nalar evaluatif yang terarah, automaticly akan membidani proyeksi yang jauh menembus kedepan. Disinilah, kelincahan membaca gerak irama society, penting untuk dilatih terus-menerus. Karena "relung" peradaban, tidak bergerak menunggu, juga "sensi". Ia (baca:peradaban), semacam perempuan yang tengah "datang bulan". ***Solo, 22 Februari 2020.

Ruang Interupsi (8)

Semua jenis IPTEK, dimulai dengan sebuah titik heran. Masing-masing, memiliki muatan "dangkal", "dalam", "panjang", "pendek", "jauh", "dekat". Implikasi dari IPTEK, tidak selalu dapat dilihat aspek negatif dan positifnya. Terutama, saat elaborasi itu sedang disusun kerangkanya. IPTEK yang merupakan "puncak" modernisme, sudah begitu panjang perjalanannya. Maka, pada rentang-rentang tertentu, kita bisa sama-sama melihat bahwa mesti ads terdapat "lubang" yang harus di tutup. Tanpa kemudian, melupakan sedemikian pesat kebermanfaatannya. Karena azali manusia tidak berhenti mencari, maka segala probability pada lingkup society akan terus menuai negosiasi. Sebab, dialog rasionalitas dan empirisitas sebagai key word IPTEK, akan terus berlangsung, selama manusia menghirup oksigen. ***Solo, 21 Februari 2020.

Ruang Interupsi (7)

Term populer yang tak asing lagi di dengar oleh telinga kita, saat berbicara mengenai "penilaian" adalah "kembali kepada diri kita sendiri".  Secara pragmatis, hal ini dapat di benarkan oleh kuantitas orang, kita biasa menyebutnya sebagai kebenaran banyak orang. Namun, agaknya istilah di atas juga perlu mendapat semacam pesan nasehat, dari misalnya sudut pandang filsafat nilai milik Gazalba, yang memberikan pengertian bahwa,  "letak nilai terdapat pada subjek yang menilai".  Bisa jadi, "menilai" dan "dinilai", entah itu subjektif ataupun objektif sekalipun, sangat di perlukan proporsionalitas dalam hal mensikapinya, agar supaya respon pihak yang "me" dan "di" memunculkan manifest yang bergerak menuju konstruktif-transformatif. Perkataan dan tindakan merupakan manifestasi dari pikiran, maka dalam bekata-kata maupun bertindak, kita dipesankan oleh Alam agar supaya terkontrol dengan elegan. Penting ...

Ruang Interupsi (6)

Gejala disonan, akan selalu ada pada tiap-tiap "nawaitu" resonan, utamanya upaya resonansi harmoni. Hal tersebut, kadangkala memang menghambat laju pertumbuhan society. Dilain sisi, sebenarnya disonan yang muncul tidak selamanya berarti disonan mutlak. Misalnya kasuistik pada statement Ketua BPIP, yang cukup "mengguncang" para elite. Khususnya pemuka Agama. Sejatinya, disonan selalu multi-interpretasi. Penilaiannya, tergantung pada pihak mana yang merasa di rugikan.  Yang menjadi catatan disini adalah, pentingnya menghadirkan sikap bijak, terutama jika issue yang mengemuka itu merupakan space publik. Diantaranya soal ideologi, yang sudah claim "harga mati". ***Solo, 20 Februari 2020.

Kepada Adinda (3)

Adinda... Hujan disini begitu deras, bagaimana disana? Apakah sama adanya? Apapun adanya, semoga dirimu baik-baik disana. Adinda... Bersama deras air disini,  ingin sekali hati menemuimu. Berbagi cerita tentang kisah kita, yang mungkin tak seindah bunga matahari yang engkau damba. Adinda... Suatu saat,  aku akan datang menujumu. Memulai lembaran baru, menepikan ragu yang membiru. Adinda... Mengertilah, bait-bait ini tidak akan usai mengalun tanpa mesti aku sampaikan langsung padamu. ***Yogyakarta, 19 Februari 2020.

Kepada Adinda (2)

Kalimat membanjir, makna melebur. Sedang janji, teramat sulit aku lepas. Padahal eros, kini terpenjara sunyat. Dan... Kelabu membiru, menyeruak kedalam jantung cinta. Apalagi yang dirimu ikuti, bias rinduku barangkali. Tapi tidak Andinda... Tidak akan semudah itu, aku mengapusmu. ***Yogyakarta, 19 Februari 2020.

Kepada Adinda (1)

Adinda... Kemarilah barang sebentar. Karena, lembayung disini, tengah melamunkan malam kita. Adinda... Dirimu tentu lebih paham perihal rasa. Tentang sebuah malam, yang pernah mempertemukan buncahan rindu kita. Adinda... Rindu tak pernah bisa mengeja cinta. Tapi ia selalu ada, menembus kediaman aksara. ***Yogyakarta, 19 Februari 2020.

Ruang Interupsi (5)

Ketidakcukupan kosakata sebagai representasi wujud rasa dan rasio, sebenarnya tidak akan menghambat laju perkembangan dan pertumbuhan peradaban. Sebab estetika kata, jauh lebih "rendah" jika dibandingkan dengan estetika laku. Baik itu laku yang covert maupun yang overt. Manakala pertumbuhan peradaban di setting sedemikian rupa, maka yang mesti di antisipasi ialah pattern akan ketercapaian dan ketidaktercapaian, akan goals-nya. Kosakata amatlah penting sebagai legacy pembejalaran generasi selanjutnya, namun fakta yang jauh lebih monumental adalah laku yang membudaya, terutama dalam tataran mikro society. Puncak aksiologis yang terkandung dalam gerak kosakata dan laku itu, sejatinya merupakan visi dari science itu sendiri. ***Yogyakarta, 19 Februari 2020.

Ruang Interupsi (4)

Pada setiap "simbol" gerak peradaban, misalnya modern atau post-modern, memiliki "fitrah" akan adanya ruang "kosong" narasi. Dualitas antara yang "homology" dan "paralogy", mesti mengandung language game-nya masing-masing. Dari yang konsensus maupun disensus. Hal-hal yang telah sedikit terpapar diatas, merupakan deskripsi yang khas dari pergumulan discourse akademik. Hal itu sah-sah saja, sebagai wujud dari produktifitas norma yang dipegangnya, ialah prinsip keilmiahan. Namun, diantara "kemegahan" modernitas sejak kisaran abad 19 itu (misalnya), tetap saja akan ada gerak sejarah yang terus ber-dialog (penerimaan dan penolakan). Pada tataran fakta "implisit", keriuhan dialog itu masing-masing berjalan, berkembang, dan bertumbuh dalam ruang sunyinya masing-masing. Meskipun, akan ada saja yang menggema pada space publik. Pada akhirnya, seluruh manusia akan tetap bergerak secara dialektis, pada duali...
Mocopat Syafaat #MerawatKebun ‌Nandur (telaten sesuai minat) ‌Puasa (menahan keinginan) ‌Shodaqoh (memberi kepada sesama) #Output mengamankan dan memaafkan, untuk menuju Alloh bersama-sama. #Kemenyatuan manusia ada dalam kelembutan jiwa. #Inna Ma'iya Robbiy: Ayat maiyah. #Iman tanpa ilmu lumpuh, ilmu tanpa iman buta. #Pewarisan itu harus tertinggi, untuk generasi selanjutnya. #Mari menemukan parameter (cara/jarak/resolusi/sudut pandang) yang paling tepat, untuk Indonesia lebih baik. Wal tandhur nafsun ma qoddamat lighod.
rpk dpd jateng 2020 ‌assesment (menggali kondisi keilmuan imm saat ini, serta harapan kader untuk keilmuan kedepan). metode: google form. 1. ‌ waktu: 1 bulan. ‌membuat standar keilmuan. metode: kolokium silabus kajian (peserta ketum, rpk pc se jateng). waktu 2 hari. ‌membuat buku bunga rampai. penulis: tokoh imm dan kader. waktu 3 bulan. ‌1 kader 1 blog. 5 menit. ‌jurnal "nafas pena ikatan". ‌Gerakan keilmuan jateng (membaca, diskusi, menulis, riset). Puncak keilmuan ‌Nulis ‌Perubahan ‌Peka ‌Toleran ‌Merasa gak punya apa2. ‌Pola pikir Cara ‌membaca ‌diskusi ‌tindakan ‌riset ,,,Hasil Rakorbid Jateng 8 Februari 2020. 1. Persiapan Lokakarya, tempat karanganyar (tawangmangu). 5-7 Juni 2020. ...Konsep (draft) ...Teknis (proposal) 2. Workshop. 3. Bunga rampai.
Maneges Qudroh/Magelang. Sabrang mdp; makna 9. ‌sudut pandang matematika, kembali pada dirinya sendiri. ‌Penanda gerbang menuju kelas berikutnya (upgrade semua hal, evolusioner-revolusioner). ‌Tetap tentram dan semangat. Stabil dulu (koneksi sosial, kepastian "rutinitas", ketidakpastian "refreshing"). Mengerti keseimbangan apa yang harus dan yg tidak harus. Punya kehidupan yang tidak sia-sia (tumbuh dan kontribusi "istiqomah dalam hal yang disukai dan diketahui, menjadi diri sendiri). ‌Mengenal keutuhan diri. ‌Memahami sebab-akibat peristiwa, agar tidak mengulangi kesalahan yg sama. ‌Kemampuan simulasi (membayangkan, empatik), hanya di miliki oleh manusia. ‌Tumbuh tidak selalu terkait yg baru. Bisa melihat kesalahan dan ketidaktepatan yg sebelumnya (refleksi dan catat). ‌Nabi SAW, memahami pola sampai akhir zaman. ‌Perlu memberikan "panggung" pada semua rasa, termasuk kesedihan. ‌Menggapai tujuan. 1. Perjelas tujuan dan tulisk...

Ruang Interupsi (3)

Setiap waktu memiliki fase dimana ide akan menggelar panggungnya menjadi nyata. Keterbukaan nalar akan mengisi panggung itu menjadi narasi yang memberi siraman sejuk di tengah kekeringan arah. Dalam gerak sejarah yang sedemikian disruptif ini, agaknya perlu untuk lebih berani untuk memulai mengisi ruang-ruang yang masih menyisakan celah. Pada term celah, bukan hanya dalam arti denotatif an sich, namun juga konotatif. Artinya, kehendak untuk "jemput bola" menjadi penting untuk kemudian dihadirkan. Maka, jemput bola disitu bisa dimaknai sebagai tindak-tanduk dalam rangka mengajukan perlawanan atas hegemoni mainstream. Sebagai jalan ninja menuju kesana, dibutukan space dialektika untuk menuai satu persatu tesis-antitesis, menuju titik klimaks sintesa. Tentunya, hal tersebut berlaku pada seluruh aspek semesta. ***Yogyakarta, 18 Februari 2020.

Ruang Interupsi (2)

Gerak dinamika sejarah, akan selalu menampilkan tokohnya. Betapapun riuhnya keadaan, sang tokoh selalu tegap dan lantang bertindak. Ia membangun narasi, berdasar refleksi universal. Sang tokoh tidak memilih melebur dalam bilur data dan fakta. Ia berprinsip value is more. Scietific circle ia kuasai di luar kepala, sehingga misalnya atribut perlawanan society ada dihadapan, maka dengan lugas ia benahi. Syahdan, tokoh yang kami maksud diatas pada faktanya selalu ada pada tiap-tiap rentang sejarah peradaban. Ia menelusup pada ruang "isi" maupun ruang "hampa" segala macam dan jenis diskursus. Menelisik cipratan uraian diatas, seminimal-minimalnya kita akan sadar, bahwa "gerakan tanpa bola", lebih berbahaya. Dan itulah, yang dilakukan oleh tokoh-tokoh disekitar kita. Entah itu yang protagonis, maupun yang antagonis. ***Yogyakarta, 18 Februari 2020.

Bisik Cahaya (2)

Sembilu tak lagi membeku. Ia kini melumer diatas gersangnya rintang. Diantara tanya, mesti selalu ada tanya disana. Perihal rasa, yang dulu sempat bersinggah. Bisikmu Cahaya... Membilur uraian senja. Menepikan gerimis yang meronta. Cahaya... Engkau tau,  Kini diriku gagap mengeja surga. ***Yogyakarta, 18 Februari 2020.

Ruang Interupsi (1)

Akan selalu ada intensi, ditengah keriuhan society. Bisa berwujud pada esksisten sidang "kaku", sampai pada eksisten obrolan ringan di warung kopi.  Seperti halnya pada hierarchy need milik Maslow, ia mengalir alamiah untuk bisa diwadahi. Atau seminimal-minimal, diberi "janji" untuk kapan-kapan di realisasi. Semua intensi, memuat akumulasi ingatan. Karena ingatan itu abstrak, maka kerapkali terpaksa terpendam atau ter-delay dalam bawah sadar manusia. Kungkungan ingatan itu, menjadi "impotensi" akan aktualisasi, apabila dibiarkan begitu saja tanpa kemudian di kelola. Karena semua manusia pasti sepakat, bahwa impotensi adalah barang menakutkan, maka jalan yang perlu di sodorkan adalah "revolusi". Terutama revolusi cara berfikir, dari beku menuju cair. Kecairan cara berfikir, adalah pengantar menuju jalan panjang kehidupan yang terus berjalan dan berubah. Sedang untuk mencapai itu, manusia butuh ruang interupsi dalam jiwanya, pada t...

Ruang Limitasi (26)

Beberapa manusia, memilih untuk menyembunyikan identitasnya. Sebagian yang lain, amat menonjolkannya. Sisi lainnya, tidak ber-identitas "mainstream". Diantara tiga arus besar interest manusia diatas, masing-masing memiliki muatan "ideologis".  Identitas yang dipegang oleh manusia, erat sekali dengan simbolitasnya. Ketika simbol itu muncul, automaticly dengan aspek yang melingkarinya. Dari falsafah, sampai semboyannya. Dalam kesejarahannya, identitas itu semacam "perahu" yang mampu mengantarkan "nahkoda"nya. Bagi manusia yang cukup "dewasa", perahu identitas itu pasti akan dilepaskan setelah "pulau" society yang di tuju telah sampai. Bagi manusia yang belum cukup "dewasa", perahu identitasnya nampak kesulitan untuk dilepaskan. Jadi, ia pasti akan merepotkan penduduk pulau society yang ia labuhi. Tak terkecuali juga, hal tersebut akan merepoti dirinya sendiri. Antara dewasa atau yang belum, aka...

Bisik Cahaya (1)

Kembali mem-bilur, diantara keramaian paling hampa. Sebuah perjumpaan tak terelakan, yang hadir dari dalam batin meta-makna. Sebenarnya, tak sedikitpun dada berani menyentuhmu kembali. Namun, frasa yang tergulir dari arah "tapi", mengeja ke seluruh rangkaian sejarah. Bukan maksudku mendahuluimu, jika pada saat itu dirimu meng-ikrar "saling". Duhai Cahaya... Saat ini, hanya ada kemungkinan, yang barangkali tak lagi "mungkin" tertampik. Walau hati, kerap berbuih ringkih. Membersama kenang, yang beranjak menuju linang. ***Yogyakarta, 17 Februari 2020.

Ruang Limitasi (25)

Dari dalam "rumah", kita memuat nilai "asali". Menuju ke luar rumah, kita beranjak menelusuri tanda tanya pengembaraan. Manusia pada sisi terdalam jiwanya, ber-fitrah pada dualitas yang selalu beriringan. Pertama menyangkut kehendak untuk "pasti". Kedua menyangkut kehendak untuk "tidak pasti". Dalam dualitas itu, manusia dalam perjalanan sunyinya masing-masing, berdialektika sepanjang waktu. Dari memunculkan tesis, antitesis, sampai sintesis. Pada tiap-tiap rentang dialektika jiwa yang "covert" itu, manusia bergulat antara yang "disonan" dan "harmoni".  Maka beruntung, bagi mereka yang bertekad keras untuk tetap mengupayakan harmonika, ditengah disonan yang terus membabi buta. Terlebih, saat berada di "rumah" sebagai titik asali dan saat berada di luar rumah, sebagai penjelmaan dirinya mengarungi pengembaraan tanda tanya. ***Purwokerto,15 Februari 2020

Ruang Limitasi (24)

Akan selalu ada "endapan" makna, pada tiap-tiap rentang jalan. Interaksi dalam lingkup sosial tertentu, amat nyata pengaruh variable-nya. Dari hal sederhana, sampai hal yang kompleks. Mulai semenjak humor, sampai menyentuh wilayah rasio-logis-imajinatif. Proses endapan itu, tidak selalu langsung di sadari pelakunya. Namun, ada pula yang direct dengan sudut kesadarannya.  Endapan memang soal kelembutan jiwa, dalam artian lelaku yang tak nampak namun sejatinya berwujud nyata.  Pada ruang-ruang interaksi tertentu, endapan itu bisa ter-delay sampai pada waktu manusia tersebut mendekonstruksi sudut sunyi ruang limitasi. Bagi orang bebal, besar kemungkinan lelaku dekonstruksi adalah barang haram dan bisa jadi bid'ah. ***Cilacap, 15 Februari 2020. 

Ruang Limitasi (23)

Jika pada suasana event tertentu, manusia lebih suka bicara masa depan, maka berbanding terbalik dengan saat reuni. Dalam reuni, manusia lebih bergairah berbicara tentang masa lalu. Dualitas yang melekat pada masa (depan dan lalu), masing-masing menaruh suatu "insight" tersendiri bagi setiap manusia. Per-manusia dalam memaknai insigt yang terkandung dalam derivasi "masa" tersebut, akan tetap bahkan koheren dengan limitasinya membijaksanai perjalanan. Limitasinya beragam, bisa sebagai rekreasi atau kreasi. Bagi manusia yang bebal, ia lebih sering nyaman dalam eksklusifitas state of mind-nya.  Sesekali, manusia-manusia berjenis bebal memang perlu di beri ruang untuk refresh, dengan pendekatan dekonstruksi. Terutama dalam aspek, keluasan "nilai". ***Cilacap, 15 Februari 2020.

Ruang Limitasi (22)

Keluasan sikap yang dimiliki oleh manusia, hanya bisa tercapai apabila kondisi batinnya sedang tenang. Maka tidak heran, jika orang dulu memilih untuk menyendiri bermeditasi.  Hal tersebut, juga mengindikasi bahwa manusia adalah bagian integral dari ekosistem alam. Ia tak hanya menyatu, namun sudah manunggal dengan udara, air, dan sejenisnya. Kalau pergi ke kota, kita akan sangat bergairah untuk menggerakan sadar ekologi. Namun saat di desa, kita bisa jadi sangat bernafsu untuk menggerakan sadar industri. Ekologisasi dan industrialisasi, dua hal yang terkesan dikotomis, namun menuai arti yang dialektis sebenarnya. Sebab, tanpa dua hal itu, ekosistem alam pun akan gancet. Syahdan, di era kekinian manusia-manusia bebal, membutuhkan tirani super power dari mereka yang telah selesai ber-meditasi diruang sunyi, atau berkontemplasi pada ruang limitasi. ***Banyumas, 14 Februari 2020.

Ruang Limitasi (21)

Kalaupun hanya ada dua pilihan didepan, manusia akan secara automaticly mencari pilihan ketiga, dst., Kemampun manusia tersebut, sangat menguntungkan baginya. Akan tetapi di lain sisi, bisa sangat merugikan. Kita sebut menguntungkan, karena kemampuan meng-abstraksi objek hanya di miliki oleh manusia saja. Tidak dengan anima vegetativa, dan tidak dengan anima sensitiva. Sehingga, manusia sebagai anima intelektiva menjadi panglima eksplorasi alam. Kemudian kita sebut merugikan, sebab pada ruang kosong mencari pilihan seperti diatas, manusia justru kerap terlena untuk tidak memilih sama sekali. Jadi, ia "golput" untuk bersikap dan bertindak. Pada ruang limitasi ini, kita dapat menarik sebuah konklusi sederhana. Bahwa, fitrah kemampuan manusia meng-abstraksi objek kemungkinan, selalu ada dualitas yang selalu interaktif. Adalah antara bertindak tapi salah/benar, atau "golput" sama sekali. Mau bertindak atau golput, keduanya memberi re-chek evaluatif. Yan...

Ruang Limitasi (20)

Selain sebagai homo religions dan homo sapiens, manusia juga merupakan homo ludens, "makhluk bermain". Esksitensi bermain manusia sangat beragam dan super dinamis, menyesuaikan tumbuh-kembang kebudayaan setempat.  Misalnya, permainan masa saya kecil antara lain "panggal", kini bisa kita lihat beralih menjadi "ML". Memberi bukti, betapa transformasi budaya begitu pesat, sejalan dengan berkembangbiaknya teknologi dan informasi. Ruang "gelap" pergeseran kebudayaan, selalu ada. Misalnya dulu permainan membutuhkan face to face langsung, kini beranjak ke face to face maya.  Pada rentang "gelap" tersebut, sebenarnya masing-masing memiliki kekhasan interaksi sosial. Dari berhadap-hadapan langsung, ke berhadap-hadapan tidak langsung.  Ruang limitasi pun, tak dapat dihindarkan dari fitrah manusia sebagai homo ludens itu, adalah need manusia untuk menghibur dirinya sendiri. Akan tetapi, era demokrasi kekinian kerap menjadi...

Ruang Limitasi (19)

Fokus terhadap diri, itulah tabiat lain dari hewan berakal bernama manusia. Fokus ke diri, bahasa lainnya ke "aku" an, bisa pula dikatakan egois. Walaupun term egois tak selamanya proporsional, untuk disematkan. Sifat dan sikap ke "aku" an ini, misalnya dipertontonkan dengan saling berbagi konten story wa, ig, dlsb., sebagai bentuk bahwa dirinya perlu, dan terkadang harus merasa dirinya ada. Dalam permisalan lain misalnya, kondisi saat menunggu traffic light berwarna hijau, manusia yang tengah mengendarai mobil atau motornya, jelas tampak ingin mendahulukan laju kendaraannya. Kalau dalam tataran makro, dalam hal ini menyangkut kepentingan publik, asumsi dasar ke "aku" an ini kerap masih ditonjolkan, sebagai upaya dirinya untuk di "aku" i. Hal tersebut, jelas amat berbahaya. Sebab, "aku" itu eksplisit lawan dari "publik". Koherenitas teramat batal, jika "aku", telah diam-diam teraktualisasi dalam ruang pu...

Ruang Limitasi (18)

Dalam rangka menempuh clarity, manusia bergelut dan berjalan mencarinya. Beraneka ragam dan jenis, pendekatan masing-masing di uji-cobakan. Ada yang menyendiri, merenung, berkontemplasi, membuka dialog besar, membangun diskursus, bergerak menelusuri hutan, dlsb. Dualitas yang melingkar dalam diri setiap manusia, selalu menuai polemik untuk kemudian tercipta harmoni. Dari harmoni, manusia kemudian mencari polemik baru, sampai menemukan kembali harmoni baru, dan seterusnya begitu. Manusia yang sejatinya merupakan "kumpulan ingatan", sesekali membutuhkan rehat. Entah masa lalu yang tragis-romantic. Bisa masa kini yang estetis-tragedis. Dapat pula masa depan yang probabilitis-dinamis. Clarity yang bisa kita artikan kejernihan, selalu akan berkelindan dengan kegundahan dan sesekali kejenuhan.  Maka, upaya menempuh rasa bahagia, harus di imbangi dengan kewaspadaan terhadap keutuhan emotion, yang didalamnya bukan hanya berisi kesenangan, namun terdapat pula muat...

Ruang Limitasi (17)

Selain memiliki fitrah curious, manusia juga punya fitrah ketergantungan untuk di perhatikan. Saya menyebutnya, fitrah evaluatif. Fitrah evaluatif, kalau datangnya dari dalam namanya introspeksi. Jika itu hadirnya dari luar, maka disebut ekstropeksi. Antrara instrospeksi dan ekstropeksi ini, masing-masing memiliki muatan dan presisinya sendiri-sendiri.  Dalam konteks yang waktu pelaksanaannya, introspeksi dan ekstropeksi, memungkinkan masing-masing subjek bebas memilih dan mengatur, kapan dan bagaimana tindakan tersebut dilakukan. Intro- dan ekstro-, masing-masing akan secara alamiah di alami oleh seluruh manusia. Namun, akan lebih baik jika keduanya, bisa berjalan secara terprogram. Untuk intro-, Baginda telah meng-uswah kan kepada kita untuk ber-istighfar sebelum tidur. Sedang dalam ekstro-, antara Baginda dengan kita, barangkali perbedaannya terletak pada kekhasan kepemilikan "wahyu". Karena setelah tidak ada manusia pun setelah Baginda yang memiliki...

Ruang Limitasi (16)

Pada setiap rentang perjalanan yang telah dilalui, selalu ada muatan-muatan impresi. Semuanya, lebih banyak tertampung dalam alam bawah sadar. Sebab, alam sadar paling maksimal memuat pucuk dari gunung es holistik kesadaran. Tentu, bisa kita pastikan, bahwa gerak kaki saat bangun tidur, apakah yang turun kaki kanan terlebih dahulu, atau kaki kiri terlebih dahulu, lebih sering luput dari wilayah alam sadar. Hal tersebut, berlaku pula ada tiap-tiap aktifitas. Besar maupun kecil, dalam norma subjektif pemerannya. Ruang limitasi yang ada pada rasa dan rasio manusia, adalah bagian dari "arogansi" yang Maha. Untuk kemudian, bahasa yang teduh adalah, aspek universal dari kemesraan-Nya. Maka, misalnya fluktuasi jiwa yang mengencang maupun mengendor dalam peranan meng-khilafahi Bumi, juga merupakan operasionalisasi arogansi-Nya, dalam rangka menjalin ikatan metafisik dengan satu-satunya ciptaan-Nya, yang ber-"warna" homo sapiens dan homo religions. ***Solo, ...

Ruang Limitasi (15)

Kalaupun terdapat jarak pada ruang "antara", maka itu tidak lebih soal "karena". Antara dan karena, bukan sisi yang manunggal, namun ia merupakan potensi integralistik. Karena ia potensi, maka dibutuhkan aktualisasi. Upaya menuju kesana, bisa beragam jenis dan ketepatan presisinya. Ke-istiqomahan adalah barang wajib yang harus di punyai, sebagai satu dari sekian bekal yang primer. Perjalanan selalu menempuh jarak dan waktu. Titik berangkat dan titik tuju, harus selalu di re-check, bahkan jika perlu di dekonstruksi. Sebab, akan selalu ada ruang limitasi, ditengah "antara" dan "karena". ***Solo, 12 Februari 2020.

Ruang Limitasi (14)

Bila pada akhirnya sebuah organisasi "besar", yang didalamnya di isi oleh manusia "besar", memilih untuk bersitegang, bisa jadi mereka sedang mempertontonkan pertunjukan "besar" juga. Ketegangan nyatanya bukan hanya niscaya, tapi terkadang memang perlu. Niscaya adanya, karena ada perlunya. Terkadang perlu, sebab ia berkelindan dengan keperluan. Cara kerja keilmuan pun, begitu. Misalnya ketegangan yang terjadi, antara psikologi dan sosiologi. Ketegangan diantara keduanya, kemudian melahirkan sintesa berupa psikologi sosial. Keniscayaan dan keperluan, keduanya sangat rentan akan terjadinya disonansi. Akan tetapi, fitrah manusia yang lebih suka dan bisa untuk ber-harmoni, menjadi modalitas ontologis menuju resonan yang berkeadaban. Maka, kesadaran akan ruang limitasi, memungkinkan subjek peradaban untuk masing-masing membagi "kelamin" perannya. ***Solo, 12 Februari 2020.

Kuncup Cinta (1)

Wahai Cinta... Siap-sediakah engkau, menyinarinya. Siap-sediakah engkau, memupuknya. Siap-sediakah engkau, merawatnya. Wahai Cinta... Gersang yang me-nestapa, mungkin saja akan menghambatmu untuk bertumbuh.  Barangkali, akan dengan mudah membuatmu layu. Bahkan, bisa saja memaksamu mati sebelum mekar dan wanginya terasa. Tapi, Cinta... Kuncup yang kini masih ada, perlahan mulai menuai iramanya. Nada dan suaranya, lambat-laun menuju puncak jemari estetika. Dan semerbak wanginya, dengan ikhlas akan mensejukkan semesta. ***Solo, 12 Februari 2020.

Ruang Limitasi (13)

Sebegitu mengerikannya waktu, hingga tiap-tiap kita kerap luput dari "yang seharusnya". Tidak berlebihan, jika makna yang senyatanya, akan bias dengan sendirinya, ketika masing-masing dari kita hanya berpangku tangan.  Bukankah, hidup adalah perjuangan tiada akhir, sampai ke titik nadir? Dalam soal-soal tertentu, kesengajaan untuk luput memang perlu. Namun, apakah pertimbangan akan waktu yang terus berjalan, sudah dipikirkan dengan baik? Wajarlah, jika pada saat-saat tertentu, ada "irama" yang berjalan tidak sesuai nadanya. Tetapi perlu disadari pula, bahwa akan selalu ada ruang dam waktu untuk membenahinya. Tentu, ini tidak hanya yang direncanakan saja, akan tetapi bisa diluar dari kata rencana itu sendiri. Sudah semestinya, pada jiwa dan raga kita masing-masing, tertanam kesadaran, akan limitasi ruang. Karena tanpa ini, potensialitas kecongkakan semakin meradang. ***Solo, 11 Februari 2020.

Ruang Limitasi (12)

Jika "ruang" kita maknai sebagai jeda, maka disana terdapat hal yang berkelindan dengannya, ialah waktu. Pada tiap jeda tersebut, selalu ada dua atau bahkan lebih probability. Bisa baik, bisa pula buruk, menyesuaikan norma apa yang akan dipakai. Setiap manusia yang hidup, masing-masing berjalan pada "ruang sepi" nya sendiri-sendiri. Kita bisa menyebutnya, sebagai jalan sunyi. Ruang sepi itu, tidak memandang personalitas, apalagi identitas. Ruang sepi menuntut subjek utama, sebagai pemrakarsa, sekaligus pelaksana atas prakarsa tersebut. Mau di bawa kemana arah langkah, semua bergantung subjek utama itu. Keterbatasan rasa dan rasio, berakibat langsung terhadap gerak fisiknya. Subjek utama, bebas memilih apa dan bagaimana ia akan berekspresi. Bagi subjek yang bebal, ia akan menutup diri dari jeda dialog. Maka beruntung, bagi mereka yang memberikan liberty, bagi subjek "lainnya", untuk sama-sama sinau bareng. ***Solo, 11 Februari 2020.

Ruang Limitasi (11)

Dalam sebuah titik keberangkatan, seringkali yang kita lebih perhatikan adalah soal capaian. Terlebih, jika capaian tersebut, bukan hanya diharapkan oleh diri kita sendiri, melainkan banyak orang. Sadar akan sebuah hal yang ternyata salah, acapkali ditemukan saat kegagalan itu baru saja terjadi. Namun, begitulah hidup. Siapapun tak secara pasti, mampu menduganya. Tetapi, dalam tiap-tiap rentang jalanan menuju cita-cita, akan selalu ada makna yang tak terduga sebelumnya. Hal-hal yang tak dapat di duga itulah, yang seharusnya mendorong masing-masing kita, untuk lebih bisa belajar dari orang lain. Membuka selebar-lebarnya ruang dialog, serta lebih bersabar untuk menentukan arah langkah kedepannya. Ruang limitasi selalu ada. Keberadaannya tak mampu di hilangkan. Maka yang paling memungkinkan untuk dilakukan, adalah bersiap sedia, terhadap semua yang akan terjadi dan yang mungkin akan terjadi. Syahdan, dengan ini kita dapat berbekal dua kata kunci, sebagai modalitas men...

Ruang Limitasi (10)

Begitulah perihal limitasi, ia datang dan pergi tanpa sanggup di prediksi, apalagi di antisipasi. Bahwa "akan" dan "telah", itu hanya soal perjalanan sejarah. Bahwa "sudah" atau "tidak sama sekali", itu hanya tentang time line an sich. Sesekali, agaknya kita perlu menyadari dengan sepenuhnya, terhadap rentang jalan hidup. Pada apa-apa yang mungkin pernah menguatkan, pun apa-apa yang mungkin pernah mematahkan. Memang, tidak semuanya dapat kita lakukan. Tetapi setidaknya, sudah ada prakarsa yang tersaji. Terdapat usaha yang tak berhenti. Dan, semua upaya yang telah menguras energi. Menyadari "ruang limitasi", berarti telah ada langkah pasti, terhadap kesadaran "yang tak pasti". Berarti pula, pada insight ke "diri" an yang turut serta, pada tiap-tiap otomatisasi, mekanisme semesta, dan kemesraan Ilahi.  Pertumbuhan diri, tak selalu berkait dengan hal yang baru. Sejatinya, ia adalah refleksi sepanjang ja...

endors 1

*"Menuturkan kebebasan, menulis bebas,  melepaskan dan mengikat hal hal biasa,  pengalaman orang orang biasa.  Rasa rasanya penulis ini sedang menyusun diary yang bermakna baginya dan kebebasan menelurkan pijar pijar aksara demikian adalah kebebasan yang sedang diperjuangkan banyak orang. Tidak semua manusia juara mendokumentasikan nyanyian jiwa sedemikian militan sebagaimana penulis muda ini."* David Efendi Ketua Serikat Taman Pustaka

Detak Cahaya (7)

Jika memang Cahaya hanya milik Cahaya, maka maafkanlah semua. Ikhlaskan semua yang sempat ada. Musnahkan saja, apa-apa yang sempat menjadi impian panjang perjalanan. Hempaskan segalanya, jangan engkau sisakan sepercik pun. Aku, tidaklah berdaya. Menantimu, dalam pekatnya senyap yang bersanding dengan kejamnya tanda tanya. Tidaklah mengapa. Bila pada akhirnya, semua memang tak sanggup di ikat, oleh kehendak semesta. Biarlah, aku sendiri yang menyesak dalam gelap. Mengupas luka, menuju peristirahatan cinta. ***Solo, 7 Februari 2020 

Detak Cahaya (6)

Terhimpit kenang, terserimpung asa. Membabi buta, meniadakan diri, mengendap senyap. Sayangku, kau harus segera pahami ini. Sebelum saatnya nanti, bilur membuih, untuk kemudian mengendap ratap. ***Solo, 7 Februari 2020.

Ruang Limitasi (9)

Barangkali akan lebih bijak, misalnya kita belajar arti kesabaran dengan para musisi. Mereka itu, bergulat dengan waktu demi menghasilkan nada dan lirik yang pas. Nada, lirik, dan semua hal yang terkait dengannya, terpaksa mereka produksi dengan penuh kepiawaian dalam memahami maksud telinga sang pendengarnya. Pun, dalam ketelitian membaca warna pendengaran mereka sendiri. Error satu ketukan saja, sangat mereka perhatikan. Denting petikan yang keliru saja, sanggup membuyarkan seisi nada dan liriknya. Sudah begitu, mereka para musisi juga harus berdialektika. Adalah antara asumsi dasar dan asumsi pasar. Mereka bertarung batin, antara konsep idealitas dan jejak realitas. Tak cukup sampai disitu, setelah misalnya satu buah lagu mereka ciptakan, sampailah pada fase promo/pengenalan kepada khalayak pendengar. Kalau memakai label, tentu ada kontrak khusus, misal memilih untuk indi, otomatis belantara manajemen resiko lebih menantang. Ngomongin perkara sabar memang tak ub...

Detak Cahaya (5)

Kedalaman begitu mencekik. Pelik memusat pesat. Ia tak sanggup lagi terbendung selindung. Kini, dan mungkin sampai nanti. Pilur membalur, menembus sisa-sisa tenaga. Usang, dan berserakan. ***Solo, 6 Februari 2020.

Ruang Limitasi (8)

Pernahkah, sesekali kita mengambil jarak dari persengketaan batin yang melelahkan? Sudahkah, sepercik linang yang sempat ada, engkau pandang sebagai titik keberangkatan baru? Apakah, hal-hal apa saja yang mungkin bisa kau tahan, benar-benar kau tahan? Kalau iya, lalu kenapa bisa tidak? Jika tidak, bagaimana misalnya iya? Ruang itu selalu ada. Jika dan maka, setiap saat tersedia. Peran dan pilihan, akan selamanya tersisa. How dan why, tak selalu menjadi awal yang baik untuk melanjutkan langkah.  Sebab kadangkala, pertanyaan who jauh lebih estetis, untuk seminimal-minimalnya menempuh jarak baru, diantara ruang limitasi yang datang dan pergi begitu saja. ***Solo, 6 Februari 2020.

Ruang Limitasi (7)

Saat senang, senanglah! Saat Sedih, sedihlah! Setelah sebelumnya kita telah diberi camkan atas pentingnya keutuhan diri, kini saatnya kita menapaki metode teknisnya. Suasana hati memang kadangkala tak terduga, terlebih jika kita berprinsip "jalani saja dulu". Tujuan yang bias, mesti berbanding lurus dengan cara yang kabur. Akan menuju ke mana, sangat menentukan cara tempuh, serta kalkulasi yang melingkarinya. Disinilah, letak urgensitas detailing akan resolusi pandang.  Namun, setelah itu jangan lupa, untuk kemudian memberikan proporsi "panggung" yang adil, bagi sedih dan senang. Karena disana, sudah menunggu ruang limitasi baru setiap waktunya. Asalkan, kita mau bersedia, untuk tidak bebal. ***Solo, 6 Februari 2020.

Detak Cahaya (4)

Bulir matamu, membekas. Tak lagi sanggup diri hitung, berapa jumlah kilas. Walaupun semuanya sempat di hapus oleh hujan perjalanan, namun ternyata semua masih menyisakan tapi. Tapi aku masih mencintaimu. Biarpun, tanpa balas tanpa batas. ***Solo, 6 Februari 2020.

Ruang Limitasi (6)

"Jika hanya orang kaya harta saja yang boleh bahagia, maka orang yang lahir dari rahim si miskin harta, pasti menderita". "Apabila yang boleh bahagia hanya orang pintar di sekolah, maka orang yang bodoh di sekolah, pasti berlumur kesedihan". "Misalnya, yang berhak tertawa hanya mereka yang populer, maka mereka yang hidup di pedalaman, pasti menangis seumur hidup". Namun, apakah hal-hal diatas itu, ada dalam kenyataan? Mungkinkah, hal-hal dalam tanda petik diatas itu, merupakan fakta? Bisa jadi, ruang limitasi kadangkala jauh lebih penting adanya, ketimbang bias cognitive, yang acapkali malah membuncah derita dan bahagia palsu. Sedang, manusia modern tengah bergulat dengan eskalasi kecerdasan buatan, yang kapan-kapan, mungkin akan membumihanguskan keapadanyaan semesta. ***Solo, 6 Februari 2020.

Detak Cahaya (3)

Bias raja dan pembantunya. Menyisir tanya, menagih jawab. Perlahan merintih dalih. Terkelupas hening asa, diantara suar. Jalanan raja, bisa jadi adalah bagian dari sempat. Yang kini, masih membiru bilur. Seperti, saat dirimu berjuang mengurai jawab. Tentang kata hati, yang sesekali tak mampu dipahami. ***Solo, 6 Februari 2020.

Ruang Limitasi (5)

Dulu, saya sempat mendengar kata-kata bijak; "gunung di daki, lautan di seberangi, demi menemui orang yang di cintai". Nampaknya, kata-kata bijak itu benar adanya. Ceritanya pendek, ialah ketika pada tanggal 5 Februari 2020 ini saya memutuskan untuk nekad hadir di acara ulang tahun Maneges Qudroh ke-9 di Kompek Candi Borobudur, Magelang. Saya berangkat dari Solo sendirian. Saya kira sebelumnya, jarak yang saya tempuh adalah jarak yang paling jauh. Ternyata dugaan saya keliru. Sesampainya di lokasi acara, saya menemui dua orang pribumi Magelang yang sudah berada disana. Acara yang berlangsung sejak jam 9 malam, ditutup pada jam 1 malam. Kemudian, orang-orang yang ikut tadi, disuguhi makanan khas setempat. Ketika akan menyantap makanan yang disediakan, semua nampak ajur-ajer nggrombol. Tentunya, memaksa masing-masing kita untuk saling berkenalan dan saling bertanya tempat asal. Orang-orang yang datang di Magelang itu, ternyata ada yang dari Jogja, Purbalingga, ...

Ruang Limitasi (4)

Dalam setiap harinya, barangkali tidak ada orang yang menghitung berapa jumlah tarik-hembusan nafasnya masing-masing. Tarikan dan hembusan, bisa jadi hanya dimaknai sebagai rutinitas alamiah an sich. Lagi pula di satu sisi, untuk apa repot-repot menghitung nafas? Seberapa urgen, mengetahui untuk kemudian paham akan hal tersebut? Dari apa yang tersimulasi diatas, barangkali dapat kita tarik sebuah simpulan sementara, bahwa ada ruang limitasi yang terdapat pada kuantitatif dan kualitatif. Seperti hal nya ketika kita mengharapkan ketentraman, maka acapkali kita harus di paksa untuk chaos terlebih dahulu. ***Magelang, 5 Februari 2020.

Ruang Limitasi (3)

"Dasar, kau ini bebal", ucap Sugiono ketika sedang berhadap-hadapan dengan chat wa nya. Entah siapa yang sedang ia chat. Ia kelihatan sangat kesal, nampak dari kerut wajahnya. "Bebal" ini, seringkali disematkan oleh mereka yang ingin menunjuk subjek, yang kurang lues akan suatu hal. Bisa juga di sinonimkan dengan beku, atau jumud. Lawan kata dari cair dan lentur. Kebebalan pada diri seseorang, titik penilaiannya bisa sangat subjektif. Namun, bisa pula objektif, dalam artian menurut mayoritas. Orang-orang bebal biasanya eksklusif, menutup diri untuk memperpanjang pembahasan. Mungkin, obrolan yang diperpanjang, bagi ia adalah suatu malapetaka. Dimana disitu, terdapat kemungkinan akan di patahkan ke-eksklusifan si bebal itu. Pada sisi lainnya, si bebal ini juga memiliki probabilitas yang sama untuk memberi predikat bebal pula, pada orang yang menilai bahwa ia bebal. Maka sederhanya, masing-masing kita, akan menuai sisi kontra maupun pro, pada label...

Detak Cahaya (2)

Engahnya memekak. Menepikan segala bercak. Reridu menyerdadu. Membekas tak berkilas. Lamun yang berkelamun. Membias makna, beserta sederet luka. Berlabuh hingga menyeduh. Meluapkan hasrat tanpa syarat. Malaikat sesekali tak bersayap. Ia memuncak, di titik terdalam senyap. ***Solo, 5 Februari 2020 .

Ruang Limitasi (2)

Tiba-tiba, Kartono berseloroh "aman mas?". Sambil usap-usap rambut lusuh saya menimpalinya, "aman terkendala, wkwk". Kata "aman", begitu monumental bagi Kartono, dan sebagian lingkar terdekatnya. Hampir setiap prolog perbincangan, selalu saja kata tersebut menjadi semacam ritual wajib. Saya sendiri, tidak terlalu paham kesejarahan kata tersebut ia mulai. Motif dan puncak apa yang sejatinya ia ingini pun, saya tidak mengerti. Semacam ritual wajib itu, ia sisipi dengan ciprat senyum ala rakyat pinggiran. Sebegitunya rentang jalan itu menuai momentum kelakar kegembiraan, yang menjadi "jimat" titik berangkat percakapan. Term "aman" ini, memang cukup simpel dan mungkin terkesan ringan saja. Namun, ternyata tidak se simpel dan se ringan itu. Sebab "aman" ini, menuai resonansi harmonika yang reliable, terutama bagi circle milik Kartono, sebagai perwakilan dari percakapan publik kelas bawah. Jika kita melihat real...

Detak Cahaya (1)

Pelik, tiba-tiba mencekik. Sedang, juwita hening melebarkan sayapnya. Jalanan, terasa menaruh beban. Memendam selindung, untuk bersambung. Kini, pikuk di dadaku sejenak bertanya.. Apa maksud arti, dari sebuah jeda. Perihal rintih, yang melirih. Tentang asa, yang menampik Cahaya. Detak tak akan pernah tega, untuk menipu. Terlebih, pada cuwitan malu dalam sembilu. Apalagi, kupu-kupu disana seolah membersama untuk menempuh relung setia. ***Solo, 5 Februari 2020 .

Ruang Limitasi (1)

Pada masing-masing kita, terdapat ruang yang tak terucap. Bahkan, terngiang pun tidak. Seberapa jauh kaki melangkah, akan selalu lebih banyak hal-hal yang kita belum ketahui.  Apa yang sempat terasa oleh hati, dan pernah terlintas oleh akal, bisa jadi itu merupakan percik semesta yang tengah mengabari. Percik kabar dari hati dan akal, selalu memiliki pola yang tidak berbeda jauh. Sebab disitu, selalu ada arus besar yang sama. Bisa kita katakan, sebagai penerimaan atau penolakan. Kalau kita pernah mendengar dan melihat orang yang berkata, "siapa aku?", maka bisa jadi, orang tersebut sedang mengafirmasi ataupun malah menolak percik kabar dari semesta. Kalau pertanyaannya "siapa aku", jawaban paling valid hanya bisa muncul ketika kita menemui sang pencipta secara langsung.  Sebab, kalau belum bertemu sang pencipta secara langsung, maka yang terjadi adalah spekulasi, prediksi, hipotesis, riset ilmiah, dlsb., yang itu sifatnya dinamis.  Apalagi, ...