Fokus terhadap diri, itulah tabiat lain dari hewan berakal bernama manusia. Fokus ke diri, bahasa lainnya ke "aku" an, bisa pula dikatakan egois. Walaupun term egois tak selamanya proporsional, untuk disematkan.
Sifat dan sikap ke "aku" an ini, misalnya dipertontonkan dengan saling berbagi konten story wa, ig, dlsb., sebagai bentuk bahwa dirinya perlu, dan terkadang harus merasa dirinya ada.
Dalam permisalan lain misalnya, kondisi saat menunggu traffic light berwarna hijau, manusia yang tengah mengendarai mobil atau motornya, jelas tampak ingin mendahulukan laju kendaraannya.
Kalau dalam tataran makro, dalam hal ini menyangkut kepentingan publik, asumsi dasar ke "aku" an ini kerap masih ditonjolkan, sebagai upaya dirinya untuk di "aku" i. Hal tersebut, jelas amat berbahaya. Sebab, "aku" itu eksplisit lawan dari "publik". Koherenitas teramat batal, jika "aku", telah diam-diam teraktualisasi dalam ruang publik.
Maka, fatwa soal idea kebajikan negara yang pernah dimunculkan oleh Plato, sebenarnya masih relevan, untuk men-counter kebablasan demokrasi akhir-akhir ini. Walaupun tetap saja, manusia akan tetap menyisakan ruang limitasi, antara persepsi dengan delusi.
***Purworejo, 13 Februari 2020.
Comments
Post a Comment