Skip to main content

Ruang Limitasi (5)

Dulu, saya sempat mendengar kata-kata bijak; "gunung di daki, lautan di seberangi, demi menemui orang yang di cintai". Nampaknya, kata-kata bijak itu benar adanya.

Ceritanya pendek, ialah ketika pada tanggal 5 Februari 2020 ini saya memutuskan untuk nekad hadir di acara ulang tahun Maneges Qudroh ke-9 di Kompek Candi Borobudur, Magelang. Saya berangkat dari Solo sendirian. Saya kira sebelumnya, jarak yang saya tempuh adalah jarak yang paling jauh. Ternyata dugaan saya keliru.

Sesampainya di lokasi acara, saya menemui dua orang pribumi Magelang yang sudah berada disana. Acara yang berlangsung sejak jam 9 malam, ditutup pada jam 1 malam. Kemudian, orang-orang yang ikut tadi, disuguhi makanan khas setempat.

Ketika akan menyantap makanan yang disediakan, semua nampak ajur-ajer nggrombol. Tentunya, memaksa masing-masing kita untuk saling berkenalan dan saling bertanya tempat asal.

Orang-orang yang datang di Magelang itu, ternyata ada yang dari Jogja, Purbalingga, Banyumas, Jakarta, bahkan Amsterdam.

Saat itu, saya tidak menyakan secara langsung, apa motif mereka datang. Kesimpulan saya, pasti mereka datang untuk menemui orang-orang yang telah sekian lama mereka cintai.

Kerinduan mereka tumpah dengan perbincangan ringan, sampai berat. Lelaku orang-orang tadi, membenarkan kata-kata bijak, "gunung di daki dan lautan diseberangi, demi menemui orang yang di cintai". 

Ditengah keceriaan saling menumpahkan kerinduan, ternyata terdapat ruang limitasi yang terhampar, dalam term "rindu" dan "temu".

Ketidakberdayaan antara rasa rindu dan tindakan temu, ternyata keduanya sama-sama memiliki presisi yang unik, adalah sifat dan sikap alamiah manusia, untuk selalu mencari "kepastian" dan "ketidakpastian".

Kepastian mereka buncahkan dengan rutinitas, sedang ketidakpastian mereka ekspresikan dengan klimaksitas kerinduan dan pertemuan.

Agaknya, apa yang sempat disampaikan mas Sabrang ada benarnya, bahwa segala rasa (sedih, senang), harus disediakan "panggung"nya sendiri-sendiri, agar masing-masing dari kita memahami secara radikal, apa itu "keutuhan diri".

***Magelang, 6 Februari 2020.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-