Tiba-tiba, Kartono berseloroh "aman mas?". Sambil usap-usap rambut lusuh saya menimpalinya, "aman terkendala, wkwk".
Kata "aman", begitu monumental bagi Kartono, dan sebagian lingkar terdekatnya. Hampir setiap prolog perbincangan, selalu saja kata tersebut menjadi semacam ritual wajib.
Saya sendiri, tidak terlalu paham kesejarahan kata tersebut ia mulai. Motif dan puncak apa yang sejatinya ia ingini pun, saya tidak mengerti. Semacam ritual wajib itu, ia sisipi dengan ciprat senyum ala rakyat pinggiran.
Sebegitunya rentang jalan itu menuai momentum kelakar kegembiraan, yang menjadi "jimat" titik berangkat percakapan.
Term "aman" ini, memang cukup simpel dan mungkin terkesan ringan saja. Namun, ternyata tidak se simpel dan se ringan itu. Sebab "aman" ini, menuai resonansi harmonika yang reliable, terutama bagi circle milik Kartono, sebagai perwakilan dari percakapan publik kelas bawah.
Jika kita melihat realitas tersebut dengan kaca mata interaksionalisme simbolik, maka akan ditemui simbol beserta substansi dibalik "aman" diatas.
Simbol, oleh Kartono digunakan sebagai pendahuluan public discourse, dengan style yang khas. Di sisi lainnya, "aman" ini menjadi satu dari sekian banyak titik klimaks perjalanan kemanusiaan dalam kesejarahannya.
Namun, untuk sampai pada meta-makna dari "aman", seminimal-minimalnya kita perlu siap sedia untuk tidak menjadi bebal, akan ruang limitasi pada tiap-tiap zaman wal makan.
***Solo, 5 Februari 2020.
Mantap.. Istiqomah nulis pak kakops
ReplyDeleteyoi bro, ngendikane mbah Nun kon sregep. Ditunggu tulisanmu hehe
Delete