Pada setiap "simbol" gerak peradaban, misalnya modern atau post-modern, memiliki "fitrah" akan adanya ruang "kosong" narasi.
Dualitas antara yang "homology" dan "paralogy", mesti mengandung language game-nya masing-masing. Dari yang konsensus maupun disensus.
Hal-hal yang telah sedikit terpapar diatas, merupakan deskripsi yang khas dari pergumulan discourse akademik. Hal itu sah-sah saja, sebagai wujud dari produktifitas norma yang dipegangnya, ialah prinsip keilmiahan.
Namun, diantara "kemegahan" modernitas sejak kisaran abad 19 itu (misalnya), tetap saja akan ada gerak sejarah yang terus ber-dialog (penerimaan dan penolakan).
Pada tataran fakta "implisit", keriuhan dialog itu masing-masing berjalan, berkembang, dan bertumbuh dalam ruang sunyinya masing-masing. Meskipun, akan ada saja yang menggema pada space publik.
Pada akhirnya, seluruh manusia akan tetap bergerak secara dialektis, pada dualitas philosophia kelas "atas" dan kelas "bawah".
Kelas atas yang memburu progresifitas, sedang kelas bawah mengejar stabilitas. Yang prog- dan stab-, tidak lain adalah gerak simultan "bawah sadar" society, yang tak akan pernah mampu dilenyapkan sampai kapanpun.
***Yogyakarta, 19 Februari 2020.
Comments
Post a Comment