Barangkali akan lebih bijak, misalnya kita belajar arti kesabaran dengan para musisi. Mereka itu, bergulat dengan waktu demi menghasilkan nada dan lirik yang pas.
Nada, lirik, dan semua hal yang terkait dengannya, terpaksa mereka produksi dengan penuh kepiawaian dalam memahami maksud telinga sang pendengarnya. Pun, dalam ketelitian membaca warna pendengaran mereka sendiri.
Error satu ketukan saja, sangat mereka perhatikan. Denting petikan yang keliru saja, sanggup membuyarkan seisi nada dan liriknya.
Sudah begitu, mereka para musisi juga harus berdialektika. Adalah antara asumsi dasar dan asumsi pasar. Mereka bertarung batin, antara konsep idealitas dan jejak realitas.
Tak cukup sampai disitu, setelah misalnya satu buah lagu mereka ciptakan, sampailah pada fase promo/pengenalan kepada khalayak pendengar. Kalau memakai label, tentu ada kontrak khusus, misal memilih untuk indi, otomatis belantara manajemen resiko lebih menantang.
Ngomongin perkara sabar memang tak ubahnya saat kita belajar berenang. Dimana potensi tenggelam, bukan hanya sekadar wacana, akan tetapi tenggakan air jelas sempat "maregi".
Syahdan, proses kreatif apapun itu, membutuhkan keluasan dan endapan yang tak terhitung. Terlebih lagi, ketahanan untuk terus berjalan diatas ketidakpastian, jelas membutuhkan kuda-kuda yang bukan hanya kokoh, namun juga lentur. Tentu, ini berlaku pada semua aspek. Sebab, diantara term "antara", mesti menyisakan ruang limitasi.
***Solo, 7 Februari 2020.
Comments
Post a Comment