Selain sebagai homo religions dan homo sapiens, manusia juga merupakan homo ludens, "makhluk bermain".
Esksitensi bermain manusia sangat beragam dan super dinamis, menyesuaikan tumbuh-kembang kebudayaan setempat.
Misalnya, permainan masa saya kecil antara lain "panggal", kini bisa kita lihat beralih menjadi "ML". Memberi bukti, betapa transformasi budaya begitu pesat, sejalan dengan berkembangbiaknya teknologi dan informasi.
Ruang "gelap" pergeseran kebudayaan, selalu ada. Misalnya dulu permainan membutuhkan face to face langsung, kini beranjak ke face to face maya.
Pada rentang "gelap" tersebut, sebenarnya masing-masing memiliki kekhasan interaksi sosial. Dari berhadap-hadapan langsung, ke berhadap-hadapan tidak langsung.
Ruang limitasi pun, tak dapat dihindarkan dari fitrah manusia sebagai homo ludens itu, adalah need manusia untuk menghibur dirinya sendiri.
Akan tetapi, era demokrasi kekinian kerap menjadi boomerang bagi keakraban berwarga negara. Dari budaya tepo sliro karena didukung interaksi nyata, ke budaya hate speech sampai perundungan, yang didukung alam virtual.
Keberalihan manusia sebagai homo ludens, kadangkala kelewat batas pada ruang publik. Karena "ludens", memiliki makna asli berupa bermain untuk kegembiraan, bukan "main mata" ala koruptor pada era kontemporer ini.
***Kebumen, 14 Februari 2020.
Comments
Post a Comment