Selain memiliki fitrah curious, manusia juga punya fitrah ketergantungan untuk di perhatikan. Saya menyebutnya, fitrah evaluatif.
Fitrah evaluatif, kalau datangnya dari dalam namanya introspeksi. Jika itu hadirnya dari luar, maka disebut ekstropeksi.
Antrara instrospeksi dan ekstropeksi ini, masing-masing memiliki muatan dan presisinya sendiri-sendiri.
Dalam konteks yang waktu pelaksanaannya, introspeksi dan ekstropeksi, memungkinkan masing-masing subjek bebas memilih dan mengatur, kapan dan bagaimana tindakan tersebut dilakukan.
Intro- dan ekstro-, masing-masing akan secara alamiah di alami oleh seluruh manusia. Namun, akan lebih baik jika keduanya, bisa berjalan secara terprogram.
Untuk intro-, Baginda telah meng-uswah kan kepada kita untuk ber-istighfar sebelum tidur. Sedang dalam ekstro-, antara Baginda dengan kita, barangkali perbedaannya terletak pada kekhasan kepemilikan "wahyu".
Karena setelah tidak ada manusia pun setelah Baginda yang memiliki kekhasan itu, maka ruang ijtihad bisa kita sebut sebagai ruang ekstro- yang paling reliable untuk terus mengejawantahkan sirothol mustaqim.
Syahdan, dalam rentang intro- dan ekstro-, akan selalu ada ruang limitasi. Hal tersebut, bisa mewujud dalam kegamangan langkah, atau kemantapan yang dinamis, untuk tidak mengatakan fluktuatif.
Karena setelah tidak ada manusia pun setelah Baginda yang memiliki kekhasan itu, maka ruang ijtihad bisa kita sebut sebagai ruang ekstro- yang paling reliable untuk terus mengejawantahkan sirothol mustaqim.
Syahdan, dalam rentang intro- dan ekstro-, akan selalu ada ruang limitasi. Hal tersebut, bisa mewujud dalam kegamangan langkah, atau kemantapan yang dinamis, untuk tidak mengatakan fluktuatif.
***Solo, 13 Februari 2020.
Comments
Post a Comment