"Jika hanya orang kaya harta saja yang boleh bahagia, maka orang yang lahir dari rahim si miskin harta, pasti menderita".
"Apabila yang boleh bahagia hanya orang pintar di sekolah, maka orang yang bodoh di sekolah, pasti berlumur kesedihan".
"Misalnya, yang berhak tertawa hanya mereka yang populer, maka mereka yang hidup di pedalaman, pasti menangis seumur hidup".
Namun, apakah hal-hal diatas itu, ada dalam kenyataan?
Mungkinkah, hal-hal dalam tanda petik diatas itu, merupakan fakta?
Bisa jadi, ruang limitasi kadangkala jauh lebih penting adanya, ketimbang bias cognitive, yang acapkali malah membuncah derita dan bahagia palsu.
Sedang, manusia modern tengah bergulat dengan eskalasi kecerdasan buatan, yang kapan-kapan, mungkin akan membumihanguskan keapadanyaan semesta.
***Solo, 6 Februari 2020.
Comments
Post a Comment