Pada masing-masing kita, terdapat ruang yang tak terucap. Bahkan, terngiang pun tidak. Seberapa jauh kaki melangkah, akan selalu lebih banyak hal-hal yang kita belum ketahui.
Apa yang sempat terasa oleh hati, dan pernah terlintas oleh akal, bisa jadi itu merupakan percik semesta yang tengah mengabari.
Percik kabar dari hati dan akal, selalu memiliki pola yang tidak berbeda jauh. Sebab disitu, selalu ada arus besar yang sama. Bisa kita katakan, sebagai penerimaan atau penolakan.
Kalau kita pernah mendengar dan melihat orang yang berkata, "siapa aku?", maka bisa jadi, orang tersebut sedang mengafirmasi ataupun malah menolak percik kabar dari semesta.
Kalau pertanyaannya "siapa aku", jawaban paling valid hanya bisa muncul ketika kita menemui sang pencipta secara langsung.
Sebab, kalau belum bertemu sang pencipta secara langsung, maka yang terjadi adalah spekulasi, prediksi, hipotesis, riset ilmiah, dlsb., yang itu sifatnya dinamis.
Apalagi, pertanyaan "siapa aku", objek materialnya adalah manusia, yang masuk dalam kajian non-eksak, yang super dinamis.
Pada akhirnya, lebih banyak orang realistis-positif, akan menuai citra dirinya berhasil. Ketimbang, mereka yang menutup diri dan bebal, serta mempertahankan pembenaran, bukan berjuang menempuh kebenaran absolut.
Maka, pertanyaan "siapa aku", harus dirubah menjadi "untuk apa aku", bukan berarti dihilangkan sama sekali. Karena pertanyaan "siapa aku", juga kerap penting pada sisi-sisi tertentu.
"Untuk apa aku", jauh lebih realistis-positif, dibanding "siapa aku". Pertanyaan "Untuk apa aku", akan mengantarkan pemiliknya, menempuh pencarian jawaban yang logis, dan tentunya akan melampaui makna bernilai. Meskipun, limitasi manusia, jelas tidak akan sanggup dihindari, dalam semua zaman.
Syahdan, ruang tak terucap, suatu saat akan tiba kepada pemiliknya dengan approach, min khaetsu la yahtasib.
Jika pada saatnya nanti ruang itu tiba, pesan saya hanya satu, terimalah apa adanya, dan kembalilah pada yang terdalam dari diri kita masing-masing, ialah nurani.
***Solo, 4 Februari 2020.
Comments
Post a Comment