Skip to main content

Ruang Limitasi (1)

Pada masing-masing kita, terdapat ruang yang tak terucap. Bahkan, terngiang pun tidak. Seberapa jauh kaki melangkah, akan selalu lebih banyak hal-hal yang kita belum ketahui. 

Apa yang sempat terasa oleh hati, dan pernah terlintas oleh akal, bisa jadi itu merupakan percik semesta yang tengah mengabari.

Percik kabar dari hati dan akal, selalu memiliki pola yang tidak berbeda jauh. Sebab disitu, selalu ada arus besar yang sama. Bisa kita katakan, sebagai penerimaan atau penolakan.

Kalau kita pernah mendengar dan melihat orang yang berkata, "siapa aku?", maka bisa jadi, orang tersebut sedang mengafirmasi ataupun malah menolak percik kabar dari semesta.

Kalau pertanyaannya "siapa aku", jawaban paling valid hanya bisa muncul ketika kita menemui sang pencipta secara langsung. 

Sebab, kalau belum bertemu sang pencipta secara langsung, maka yang terjadi adalah spekulasi, prediksi, hipotesis, riset ilmiah, dlsb., yang itu sifatnya dinamis. 

Apalagi, pertanyaan "siapa aku", objek materialnya adalah manusia, yang masuk dalam kajian non-eksak, yang super dinamis.

Pada akhirnya, lebih banyak orang realistis-positif, akan menuai citra dirinya berhasil. Ketimbang, mereka yang menutup diri dan bebal, serta mempertahankan pembenaran, bukan berjuang menempuh kebenaran absolut.

Maka, pertanyaan "siapa aku", harus dirubah menjadi "untuk apa aku", bukan berarti dihilangkan sama sekali. Karena pertanyaan "siapa aku", juga kerap penting pada sisi-sisi tertentu.

"Untuk apa aku", jauh lebih realistis-positif, dibanding "siapa aku". Pertanyaan "Untuk apa aku", akan mengantarkan pemiliknya, menempuh pencarian jawaban yang logis, dan tentunya akan melampaui makna bernilai. Meskipun, limitasi manusia, jelas tidak akan sanggup dihindari, dalam semua zaman. 

Syahdan, ruang tak terucap, suatu saat akan tiba kepada pemiliknya dengan approach, min khaetsu la yahtasib. 

Jika pada saatnya nanti ruang itu tiba, pesan saya hanya satu, terimalah apa adanya, dan kembalilah pada yang terdalam dari diri kita masing-masing, ialah nurani.

***Solo, 4 Februari 2020.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-