Skip to main content

Posts

Showing posts from November, 2019

Apa Ada Angin di Surakarta (34)

Nampak dengan amat jelas, gambar kongkret wajahmu. Keluguan dan keprofesionalan, adalah satu kesatuan. Mengintegral, membaur dalam sorot mata, warna wajah, dan kebakuan ucap, pun pada gimik tubuh. Awalnya canggung, lama-lama nanggung. Awalnya sayup-sayup senyum, lama-lama sodoran kelakar kagum. Bening matamu, putih wajahmu, legit senyummu, terangkum dalam satu temu waktu itu. Siang dan sore. Itu saja, sementara. Sebab, angin Surakarta malam ini, agaknya merasa terganggu proses semedinya, oleh karena guyuran gerimis yang diam-diam mampu dengan lugas, menepis benang merah wajahmu. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 29 November 2019.

Sedang, Bunga-Bunga Pun Berjatuhan. (6)

"Biarlah kulangitkan rindu Dan biarlah hujan menetes dari balik iris hitammu Masih saja kurenungkan disini Asa-asa yang harus kurajut kini dan esok hari Tanpa mengijinkan mimpi untuk lebih dulu merajut bulu mataku Tak perlu menunggu waktu lebih lama Tak ingin seperti kemarin Seperti saat kuseduh rindu dengan hangatnya senja Ketika aromanya pun mulai bercerita Tentang hitam pekat kopimu Tentang kita yang duduk berhadapan Sedang kita tak kunjung beradu pandang Dan kamu, masih saja menatap kura-kura yang sibuk tengkurap di cangkang" Begitulah katamu, yang engkau kirimkan kemarin hari. Sebuah sajak paling menggurita, dipenghujung sela-sela rindu yang tengah menyesak di dada. Sedang, sesaat aku membacanya, sontak, angin di Surakarta pun, begitu cemburu. Oleh karena rambu cinta, yang melukis pelangi di pekatnya hari. Dan sekejap, bunga-bunga pun berjatuhan. Katanya, tak lagi kuat, menanti dan menahan, hangatnya pertemuan. Wallohu a...

Rhapsody Gulita (4)

Entah dengan bahan baku apa, Tuhan meracik ciptaan-Nya, sampai-sampai tepat di bawah hidungmu, terdapat pelangi yang merakah. Jelas tergambar, mercusuar yang menyinari seluruh ruangan, adalah muncul dari balik indah senyumanmu. Semacam jus strawbery yang baru saja dihidangkan, senyummu mampu melepas dahaga kepedihan.  Melebar dan meluas, kedalam sekujur pori-pori hati. Tapi, sungguh sayang, itu hanyalah sekejap.  Apapun itu, yang jelas, keindahan malam ini, mencipta rhapsody yang mampu menabur bunga, sehingga aku dan nafasku terjatuh kedalam imaji antah-barantah. Hah!? Bodohnya aku ini, yang tak berani, membersamaimu malam ini. Beruntungnya, robusta lampung dihadapan, mampu sedikit meredam rasa rindu yang membuncah, oleh karena senyummu yang kerap bersambung. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 28 November 2019.

Kuasa Panglima, Kuasa Ala Kadarnya.

Resiko menjadi berpengalaman, adalah dimintai pengalaman. Sah-sah saja. Namun, yang mesti dipahami, ialah tentang masa pada masing-masing rentang waktu, amatlah berbeda. Walaupun, unsur-unsurnya ada yang memiliki kesamaan demi kesamaan. Salah satu anak muda yang berparas normal, waktu itu mendatangi Pak Simad yang tengah "menanti wangsit". Anak muda itu, datang ke Simad bermaksud untuk meminta petuah, arah dan petunjuk.  Anak muda ini, konon berkeinginan menjadi "panglima tertinggi", dalam suatu cipratan kebudayaan. Kita sebut saja, sebuah komunitas yang beranggotakan anak muda juga. "Pak Simad, saya minta masukannya dong", kata anak muda tadi, sambil memegang kreteknya. Pak Simad yang relatif halus itu, menimpali dengan halus pula. Ia mendahului jawaban untuk anak muda tadi, dengan sebuah kronologi dan fenomena yang kerap terjadi pada anak muda lainnya. Adalah mengenai "kiblat" pemikiran. "Saya menemui, anak-anak muda b...

Rhapsody Gulita (3)

Kerap kali ada diksi-diksi yang tak mampu terucap dalam kata. Apalagi, saat engkau dengan teduhnya menatap. Sesekali mulut terbata, berulangkali justru hati tersundut gagap, pun tingkah beralih menjadi gugup tak beraturan. Apa yang terjadi gerangan? Sulit untuk disulut, malah-malah kretek selalu menjadi pelampias dahaga rindu, yang jelas engkau suguhkan. Bukan hanya tersuguh beberapa kali, namun setiap hari. Berulang kali, titik dada mengelupas menjadi sari-sari rasa, yang terperas oleh papas dari parasmu. Bahkan, yang paling signifikan adalah, kelakar-kelakar manja perihal senyummu yang tertetes. Membuat denyut jantung, terhenti untuk sementara. Betapa mudahnya, hati yang telah mantap pada posisinya, beralih menuju purnama senyummu.  Entah karena cahaya yang memancar dan menyerbak, atau tentang candu yang diam-diam membunuh? Bukan! Ini bukanlah salahmu, ini jelas salahku! Salahku, yang menaruh ranjau rindu, diatas tepian danau kala itu. Dan kini, senyummu ...

Initial Noting: Topeng Konformitas.

Disela-sela meniti karir menjadi kuli kedai, ada sederet fenomena yang tercecer. Diantara itu semua, ada satu dari sekian banyak yang bertransformasi menjadi initial noting.  Adalah makna topeng dan segala ekspresinya, dalam rentang perjalanan hidup ini. Topeng adalah alat peraga peran, dalam pertunjukkan drama teatrikal. Menjadi manusia yang bertopeng lebih dari satu, bukanlah pekerjaan yang bisa dibilang simple. Tidak bisa dibilang simple, dalam artian "ketika dijelaskan menggunakan verbatim". Karena itu lebih dari sekadar kata, namun sudah berwujud lelaku. Soal topeng yang lebih dari satu, kata kunci yang hadir adalah profesionalisme. Sebelum kata "muna" melabel. Sebab, seekor Bunglon tidak bisa dibilang "muna", karena ia hanya menjalankan taqdirnya, untuk mampu survive ditengah segala kondisi alam. Kata sebagian saintis, topeng manusia hanya satu. Sedang pada realitanya, topeng itu bisa beribu-ribu, sangat elastis menyesuiakan ir...

Kabar Terakhir, Hanya Penjahat.

Desa saya, secara geografis tidak atau belum terdeteksi oleh sistem GPS. Sebab, GPS hanya mampu membaca letak benda mati, melalui kecanggihan satelitnya. Sedang Desa saya, merupakan sebuah kerumunan orang yang jelas tidak stag dalam satu letak dan lokasi. Umur Desa saya yang cukup tua, membuat pengalaman demi pengalaman terukir dan tercatat oleh sejarah. Baik itu pengalaman manis, maupun pahit. Baik itu tercatat secara teks, maupun lewat omong ke omong. Pengalaman manis sejauh ini, alhamdulillahnya lebih banyak secara kuantitatif, apabila dibandingkan dengan pengalaman buruknya.  Namun, yang menjadi perhatian paling signifikan, sekaligus menyita energi, adalah pengalaman pahit. Itu alamiah manusia yang masih di ambang normal. Pengalaman pahit di Desa saya, cukup banyak. Diantaranya kelesuan anggota masyarakat untuk menghadirkan spirit keagaamaan, kemalasan akan literasi, kegagapan pada isu kontemporer, ekonomi yang masih hobby minus, serta beberapa masyarakatnya ...

Apa Ada Angin di Surakarta (33)

Kuda-kuda batin macam apa yang paling ampuh, untuk menahan sesaknya nalar oleh serangan tatap matamu.  Tatap matamu itu, semacam sinar purnama yang menyorot seisi bumi jiwa. Menerkam hati yang kalut, mencuat ke seluruh pelosok dada yang lembab oleh tangis. Kau tersenyum, sedang aku termenung. Kau menatap, sedang aku tak mampu sedikitpun berkecap. Dan, kau menoleh, disitulah aku diam-diam memperhatikanmu. Entah, apa ada angin di Surakarta? Yang jelas, malam ini kamu sedang cantik-cantiknya. Sedang, bunga ditepi jalan pun, cemburu menyaksikan dirimu yang tengah berbinar. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 26 November 2019.

Tenang! Ketua RT Kita, Masih Nomal.

Mendapat kepercayaan sebagai ketua RT, bukanlah tanggung jawab yang mudah untuk diemban. Apalagi, perkara yang diurus itu beraneka-ragam jenis dan spesifikasinya. Heterogenitas yang tak mungkin dapat dihindari, membuat uncertainty semakin menjadi-jadi. Perkara yang mainstream belum usai digarap, sudah bermunculan perkara yang anti mainstream. Terkadang hal-hal yang mainstream saja dapat membuat pusing 8 keliling, apalagi yang anti mainstream, sesekali benar-benar ngrusak tatanan ati. Ketua RT adalah panglima seluruh program kebijakan, jika khilaf kerap kali pula menjadi biang keladi kerusuhan. Tugas utamanya jelas, ialah mengamankan dan menyamankan satu sama lainnya. Ditengah krisis stagnasi ide, ketua RT kita, terkadang memilih untuk ber-meditasi sejenak. Menepikan diri dari keramaian, untuk meminta wangsit kepada ilahi. Meminta petunjuk kepada semesta, perihal apa dan bagaimana keberlanjutan sikap dan laku yang terbaik untuk masyarakat yang dipimpinnya. Namun kali in...

Rhapsody Senjakala (2)

Jalanan Solo-Yogya, masih cukup menyita berpuluh perhatian. Kali ini, warna langit tak seperti biasanya. Walaupun, rhapsody senjakala terus-menerus menyusun ritmenya. Sebuah ritme, perihal temu yang terkatung-katung angin dan reruntuhan dedaunan. Rhapsody senjakala yang tak seindah biasanya, menumbuhkan citra yang cukup membius seisi dada. Apalagi, wajahmu hari ini, masih saja tak berbinar seperti waktu-waktu sebelumnya. Barangkali, akan lebih baik, jika apa yang kita sebut sebagai keinginan, untuk sementara ini disimpan dalam-dalam. Bukan dalam arti disimpan begitu saja, akan tetapi diolah dengan semestinya. Olahan tentang keingingan, menandai ada yang perlu di proses. Dalam hal ini di pilah-pilih, mana yang seharusnya dan mana yang tidak semestinya. Sorot matamu yang membuncah, tak lagi mampu menepis segala gundah. Hanya saja, rintik gerimis yang terlewati tadi, cukup mendinginkan jiwa dan raga yang perlahan terbunuh sepi. Engkau dengan jelas paham, tentang siklu...

Apa Ada Angin di Surakarta (32)

Betapa mudahnya dirimu memegang pundak kiriku waktu itu. Angin dan dedauan pohon kelapa, dengan amat jelas menjadi saksi bisu sentuhan tanganmu itu. Tak terkecuali, berpuluh pasang mata disana, ikut serta bersaksi dalam rentang hidupnya. Mungkin, sangkaku, engkau khilaf. Namun, sangkaku salah. Engkau ternyata menikmati khilafmu itu. Dan aku, sialnya terlena akan kenimkatan khilaf yang engkau ajukan. Diam-diam engkau memendam orientasi kebusukan. Pelan-pelan engkau memasuki, apa yany disebut "pendahuluan" dosa-dosa. Dan lagi-lagi, kesialanku datang kembali, engkau menikmati, sedang aku terlena kenikmatan. Siapa yang menyangka, akan semua ini. Apakah itu karena sebabmu saja, atau juga sebabku? Ini pertanyaan yang cukup terlambat muncul. Sebab, dosa termanis telah dan sampai pada titik nadir. Engkau tertawa, sedang aku terluka. Engkau berkelakar, sedang aku tercabik dan hancur. Sungguh, malam itu menjadi kekelaman yang menghujam. Yang kemudian, angin di Sura...

Initial Noting: Waspada Orientasi.

Seandainya waktu bisa di jeda, barangkali manusia akan menemui evaluasinya sendiri. Sayangya, sifat dan sikap waktu tidaklah demikian. Ditengah era yang serba materialistik ini, dalam arti arus besarnya. Tidaklah mudah untuk menaruh manajerial yang paling kondusif, apalagi sistematika yang beradab. Bukan berarti tidak ada yang kondusif dan beradab, hanya saja, sekali lagi arus utama kita bukanlah itu. Era yang oleh saintis sufistik dianggap "perang dunia ke-3", menjadikan kebringasan perut diposisikan sebagai yang utama. Lawan dari sifat dan sikap humanis, dalam pengertian praksis. Pertentangan-pertentangan memang selalu ada, namun baik dalam makna fisik maupun psikis, dalam tribun sosiologis maupun antropologis. Pertentangan dapat menarik konklusi, namun juga mampu mendorong distorsi yang baru sama sekali. Sedang, manusia yang "tulus", akan menuai initial noting: waspada orientasi. Kita yang minim pengetahuan tentang masa depan, hendaknya salin...

Initial Noting: Kulminasi Tinggi Rendah.

Akan selalu ada titik kulminasi dalam setiap pergumulan, dari yang mikro sampai yang makro. Bahkan tak terkecuali, pada setiap diri manusia. Kulminasi itu, semacam menandai adanya sebuah revolusi, bukan sekadar reformasi. Kalai sudah revolusi, maka potensialitasnya bisa sampai "berdarah-darah". Yang saya maksud sebagai kulminasi disini, jelas dalam artian yang konotatif. Bisa bermakna jatuh sejatuh-jatuhnya, atau berarti naik senaik-naiknya. Lagi-lagi "sikap" lah yang akan mampu "berbicara banyak".  Layaknya lapar, akankah selalu menunjuk pada si miskin, atau bisa menunjuk pada si kaya? Miskin dan kaya disini, apakah hanya ekonomi an sich? atau ada indikasi lain, dari sekadar soal perut? Mungkinkah soal ketenangan hidup, akan menjadi primer?  Nampaknya, arus besar kita belum beranjak kesana. Dengan realitas ini, seminimal-minimalnya, kita memperoleh insight, untuk manaruh waspada dan siaga, khususnya terhadap dinamika yan...

Initial Noting: Konotasi Perubahan.

Apa yang terlihat, dan apa yang terdengar, belum tentu itu yang terjadi. Maka tidak heran, kalau Agama memberi sinyalamen agar kita menaruh "tabayun", dalam tiap-tiap peristiwa. Tabayun tersebut, menandai satu dari sekian peristiwa yang membutuhkan clarity. Supaya, bersih dan murni kegelapan yang mendera fenomena. Dari sikap tabayun itu, dapat diperoleh momentum untuk mengambil jeda, terlebih dalam konteks ruang dan waktu yang ada. Ketidakabadian dunia dan seisinya, pun menempatkan secara absolut, tentang makna sejati perubahan.  Perubahan yang berangkat dari kata "ubah", memiliki definisi yang meluas. Dalam arti, selalu mengikuti arus situasi dan kondisi. Pun, perubahan tersebut, menyingkap fakta yang denotatif sekaligus kenotatif. Terkadang primer, acapkali juga sekunder. Ketepatan sikap manusia terhadap presisi primer dan sekunder, akan berimplikasi pada nada yang menyejukkan jiwa dan raga. Akan berbeda, jika yang primer di sekunder...

Apa Ada Angin di Surakarta (31)

Selepas kepergianmu, cuaca disini sontak tidak menerima akan putusan yang engkau berikan itu. Seolah menandai kalahnya sebuah usaha, yang dahulunya sama-sama kita semai bersama. Aku yang menaruh harapan besar kepadamu, akan mimpi-mimpi keindahan pelangi, kini musnah sudah. Engkau ternyata lebih memilih untuk memisahkan, tali ikat janji-janji yang pernah terhubung amat kencang. Cuaca tak menerima, sedang angin pun cemburu. Menyaksikan keterputusan sumpah setia, yang sempat kita sama-sama ucap. Nyatanya, bibir ini belum sepenuhnya kering, akan kalimat-kalimat sumpah setia itu. Walaupun betapa pahit kenyataan ini, aku tetap berusaha sekuat tenaga untuk menerimanya, apa adanya, menyaksikan engkau bahagia bersamanya. Agaknya, kita perlu merungkan arti kesetiaan. Terutama, pada janji yang telah tiba pada relung hati terdalam. Lebih-lebih, patutnya kita malu, akan semua hal yang pernah kita upayakan, yang kesemuanya itu, disaksikan dengan romantic oleh angin di Surakarta ...

Initial Noting: Rentang Siklus.

Sebagai pengembara kehidupan, setidaknya kita akan menemui 2 hal, khususnya dalam konteks masa. Adalah "masa lalu" dan "masa depan". Jalan yang membentang dan rangkaian siklus yang terlewati, merupakan satu dari sekian banyak hal yang memberi makna. Hal tersebut, berjalan secara autommaticly. Kerap kali malah tanpa disadari. Manusia terbentuk oleh lingkungan, dan manusia membentuk lingkungannya. Dua hal yang jelas selalu berkelindan, baik langsung maupun secara implisit. Saat seseorang memakan coklat, secara sadar maupun tidak sadar, ia akan terpengaruh oleh kandungan kimiawi, kemudian berimplikasi pada mekanisme fisiologisnya. Satu siklus terlewati, yaitu kinerja mulut, dan skema kerja pencernaan. Begitu pula pada hal lainnya, misalnya saat seseorang duduk diatas kursi, sembari mendengarkan musik, maka pada rentang waktu tersebut, terdapat siklus pendengaran dan pemaknaan. Pendeknya, akan selalu ada initial noting, dalam pergumulan dan permenun...

Rhapsody Gulita (2)

Lagi-lagi, dengan amat sangat terpaksa, rhaspody itu hadir kembali. Dan, lagi-lagi aku harus mengatakan dengan gamblang, bahwa hiasan dinding yang indah itu, bukanlah lawan tandingmu. Kerudung merah, kaca mata bulat, dan tatap anggunmu itu, jelas menusuk se-isi nurani. Engkau disana, sedang aku disini. Disini, di sisi gulita malam yang gelap.  Kalaupun boleh menoleh, tentu saja jiwa dan raga ini tak menolaknya. Namun, hal itu adalah kesalahan.  Sebab, engkau bukanlah sendiri, melainkan bersamanya. Sedang, lampu-lampu pun jelas mencemburui hal itu. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 21 November 2019.

Sedang, Bunga-Bunga Pun Berjatuhan. (5)

Wajah jalanan di komplek Stasiun Solo Balapan, kali ini cukup lenggang. Menandai, dini hari telah tiba.  Dini hari adalah sebelum cahaya. Sebelum sayup-sayup penduduk, memulai aktifitas yang ragam jenisnya. Ditengah lalu-lalang yang cenderung lenggang ini, nampaknya diri ini masih menyimpan timbunan memori yang cukup merimbun.  Terlebih, pada ucap janji yang telah tergores. Tentang asa untuk sesegera menjumpaimu, di tanah kelahiranmu, tanah kelahiran kita. Asa yang akan sama-sama kita upayakan itu, sudah dan telah kita sematkan dalam dada.  Kadangkala, rindu membuncah dan merekah. Pun, rindu itu kerap menyesakkan dada, oleh karena jiwa ini menghirup manisnya aromamu. Satu hal yang pasti selalu memberi konklusi, adalah senyumanmu, pipi kemerahanmu, dan gelang bertali hitam yang sampai sekarang masih aku simpan. Wallohu a'lam. Surakarta, 21 November 2019.

Rhapsody Gulita (1)

Sesaat setelah nada dan suara riuh-rendah, mulai terhimpit gulita, kau menjadi satu dari sekian purnama. Indahmu natural, senyummu merekah, sedang tatapmu menyala. Barangkali, musuh terbesar hiasan-hiasan dinding, adalah parasmu yang lugu itu. Engkau yang datang membawa tas kecil dipundakmu, menyapaku dengan lembut. Apakah gerangan semua ini? Apa iya, ini hanyalah sebuah imaji yang meng-ilusi? Atau, semacam surga cinta yang hadir, dikala gulita menjumpai? Nyatanya, rhapsody kembali hadir membersamai angin disini. Iya disini, tepat dihadapanmu sayangku. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 20 November 2019.

Rhapsody Senjakala (1)

Tepat setelah gerimis mengguyur seluruh dedaunan, kau masih menjadi satu dari sekian banyak perhatian. Senandung lagu cinta, menjadi titik paling rhapsody. Engkau tau, aku selalu memujamu. Dalam gelap gulitanya, denting sang waktu. Romantic tone. Adalah nada dan suara, yang terpadu dalam simphony cinta. Pertemuan denganmu malam itu, tentu masih menjadi memori termanisku. Waktu itu, engkau memintaku untuk menuliskan sajak cinta untukmu. Dan aku, tentu menyanggupi kehendakmu itu. Namun, tepat sesaat setelah aku kirimkan sajak cinta itu, kau memberi sinyal yang teramat pahit untukku telan. Yaitu, tentang pilihan hatimu. Engkau memilihnya, dengan alasan ketepatan waktu. Katamu, diriku terlambat. Katamu juga, diriku lebih tepat jika harus tidak memilikimu seutuhnya. Kala itu, pena dan tinta menjadi saksi, betapa rhapsody yang aku bangun, runtuh seketika. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 20 November 2019.

Senjakala di Pelupuk Matamu

Sebenarnya, apa dan bagaimana aku harus mengerti tentangmu. Maksudku, tentang apa yang terdapat dibalik bening bola matamu, dan tentang bagaimana gelombang cahaya yang memancar darinya? Sungguh, ini adalah saat dimana sekujur tubuh, merasa sesak oleh karena sorot wajahmu yang berbinar itu. Namamu? Rumahmu? Masih menjadi tanya yang bertanda. Apalagi perihal cintamu itu. Mungkin, ini hanyalah sebuah temu yang berujung tiada jemu. Bagiku, menemuimu adalah candu, yang membersamai garis merah jalanan yang tak bertepian. Namun, ada satu dari sekian keindahan yang hadir kala itu, adalah tepat dibawah alis matamu, terdapat warna jingga yang merekah. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 19 November 2019.

Apa Ada Angin di Surakarta (30)

Apa yang salah dari suara-suara kendaraan, yang berlalu-lalang di jalanan Solo-Yogya. Sehingga membuat seluruh isi dada, mengelupas beribu-ribu makna. Sebuah makna, tentang dirimu yang memapar senyum. Perihal dirimu, yang memilih untuk terdiam dalam senyap, melihatku pergi untuk selamanya. Agaknya, cinta dan cita, yang sama-sama pernah kita bangun, tak berbekas sama sekali. Agaknya, lubang hati yang sempat sama-sama kita isi itu, runtuh seketika waktu. Coretan kisah, goresan kasih, luluh lantah diterjang kencangnya angin di Surakarta. Seperti hilang begitu saja, membersamai goresan tinta kelam perjalanan. Barangkali, sikap deterministikmu itu adalah sebab kepergianku. Bukan soal, keberbedaan yang nyata. Bukan pula, soal orang ketiga. Sesudah aku mengabarkan semuanya, apakah gerangan imbasnya? Apakah gerakan langkah lanjutannya? Atau, hanya lusuh dan luruh, tentang asa dan rasa yang sempat ada? Tapi, yang jelas, sungai-sungai disini, masih tetap mengalir, menu...

Eksplanasi Meta Makna: 107 Muhammadiyah.

Pengetahuan sains, memiliki komponen "apa", "bagaimana", dan "untuk apa". Komponen tersebut, tergabung dalam philosophy ontologis-epistemologis-aksiologis. Untuk sampai pada pemaparan mengenai "apa", "bagaimana", dan "untuk apa", kita harus memasukkan fenomena. Misalnya fenomena yang paling populis di jagat raya, adalah makna hidup. Kenapa makna hidup?  Sederhana saja, karena setiap manusia itu hidup. Ketika manusia hidup, maka dengan alamiah, ia akan mencari makna hidup. Jadi, makna hidup adalah "apa", dalam fenomena diatas. Taruhlah disini, bahwa makna hidup adalah mampu bermanfaat seluas-luasnya.  Sekarang, kita lanjut dalam term "bagaimana". Maka, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana makna hidup itu? Bagaimana mencarinya? Jadi, "bagaimana mencari", kemudian menjadi bagaimana mampu bermanfaat seluas-luasnya. Katakanlah disini, bahwa mampu bermanfaat seluas-luasnya, dengan me...

Apa Ada Angin di Surakarta (28)

Debu-debu jalanan, letupan-letupan obrolan, riuh-rendah nada dan suara, menyatu dalam aktifitas sudut Kota Surakarta. Sesaat setelah lampu-lampu dinyalakan, ternyata engkau masih menjadi sosok yang aku perjuangkan. Engkau adalah satu dari sekian cita, yang aku tempatkan pada catatan juang. Nostalgia SMA, tempat-tempat yang pernah kita kunjungi, dan nama anak yang dulu sempat tersemat, kini lenyap. Setelah orang tuamu memberi keputusan sepihak. Pedih pastinya, namun apalah daya, diriku hanyalah balungan kere semata. Dan, yang paling menyedihkan adalah, engkau rela memutus tali yang pernah kita sama-sama ikat. Begitu mudahnya engkau berbohong pada rasamu sendiri. Begitu ringannya, tali ikatan itu, lepas begitu saja. Cincin yang pernah aku sematkan pada jari manismu, kini terlepas dan terhempas, membersamai riuhnya angin di Surakarta. Seketika itu juga, benak ini berfikir "bagaimana mungkin aku akan sanggup melupakanmu, bagaimana caranya?"  Entahlah,...

Apa Ada Angin di Surakarta (27)

Ada sederet makna yang tercelup dalam do'a. Selintas, hal tersebut terkesan biasa-biasa saja. Namun, terdapat impresi yang mengernyitkan seisi dada menyesak.  Ini tentangmu. Tentangmu yang jauh disana. Tentangmu dan kenanganmu, membuat semesta bertanya, "adakah kalimat canda yang menyerta, dalam setiap jumpa?" Nampaknya, tentangmu dan kenangmu itu, hanyalah ilusi saja. Ia hanyalah sekedar kalimat jiwa, yang menetap dalam rongga dada yang terluka. Bukan sebuah lukisan abstrak yang beralih dan beranjak, dari kegagalan meminangmu. Tentu, ini bukan kesalahanmu. Ini murni kesalahanku, yang dengan tega meninggalkanmu, ditengah birunya cinta sedang menempuh geloranya. Aku tidaklah tega sebenarnya, namun apalah daya, keadaanlah yang memaksanya, untukku pergi meninggalkan histori yang pernah tercipta. Aku meninggalkanmu waktu itu, sambil mengucap "barangkali, ini sudah jalannya". Seketika itu, air matamu menetes, mengaliri pipi halusmu. Semestapun ikut m...

Apa Ada Angin di Surakarta (26)

Masih adakah angin di Surakarta? Masih adakah, secercah rasa yang dulu pernah singgah? Masih adakah, rindu yang kita kecap bersama di kala gelap menyapa? Disini, ditempat yang pernah kita singgahi.   Kau pernah berkeluh kesah, tentang hidup yang begitu semerbak pedih. Dan, disana, pada saat yang sama, pundakku pernah kau sandari, sebagai pelipur duka. Namun kini, kau pergi. Meninggalkan tetes hujan yang sama-sama pernah kita nikmati. Membersamai masa indah, yang dulu sangat kita cintai. Sedang disini, aku hanya berteman segelas kopi, bersama kenangmu, yang memahit sedikit demi sedikit. Apa iya, aku adalah orang yang sudah terlampau dalam mencinta. Apakah iya, aku adalah harap, yang hanya kau balas dengan kalimat "aku memilihnya karena orang tua?" Begitu mudahnya. Begitu mudahnya engkau pergi, dengan kenangan termanis yang pernah kita jalani. Meninggalkan luka, menyayat palung batinku, meresap pedih, meneteskan air mata, menyesakkan dada. Memang tida...

Letupan Grit dalam Pusaran Modernitas

Ada insight yang mengelupas dari dalam benak ini, sesaat setelah obrolan yang relatif panjang bersama salah seorang intelektual bernama Pak I. Selain sebagai seorang konsultan di bidang pendidikan, beliau juga tengah menempuh studi master. Beliau yang saya kenal belum lama ini, terlihat gagah saat berargumen, nampak fasih berbahasa internasional, memiliki power analisa yang tajam, kemampuam komunikasi yang lincah, dst. Hal tersebut, yang kemudian membuat saya tergugah untuk membuka obrolan. Pembukaan obrolan dengan Pak I ini, saya mulai dengan pertanyaan "Mau neliti tentang apa Pak"? "Masih tentang bidang saya mas, pendidikan", responnya dengan santun nan ramah. Obrolan kemudian berlanjut, pada soal rutinitas. Rasa penasaran saya terdorong untuk sesegera mungkin menempuh jawaban. Hal yang kemudian saya tanyakan adalah, soal waktu belajarnya. Pak I ini, sontak memberi jawaban sederhana, "setiap orang punya waktu nyamannya masing-masing mas, kala...

Apa Ada Angin di Surakarta (25)

Oh.. Teganya dikau, kembali menyelinap dalam benak yang ringkih ini, membersamai mesra malamnya angin di Surakarta. Wajahmu, ternyata gagal aku lupakan begitu saja. Angin di Surakarta-lah ternyata, yang membawa bayangan "pedih" itu. Sejuta wajah, sejuta makna. Itulah simpulan sementaraku. Sesaat setelah lampu-lampu tengah bersinar menetap, pada langit-langit atap rumah ini. Walaupun tak dapat ku gapai, apa yang disebut sebagai dermaga harapan, setidaknya aku pernah "mencicipi" tatapan anggunmu, ditengah Kota waktu itu. Saat selimut dinginnya derai gerimis pusat Kota waktu itu, aku menatapmu tengah tersenyum, sambil memegang kertas skripsi yang sedang engkau kerjakan, kemudian engkau pun menyodorkan-memperlihatkan padaku. Aku pun sontak, ikut tersenyum, melihat wajah cantikmu merakah indah. Sembari, aku membelikanmu teh manis kesukaanmu kala itu. Sungguh momen yang indah, namun perih untuk di kenang. Sebab, dirimu hanyalah selintas dari...

Apa Ada Angin di Surakarta (24)

Angin di Surakarta ini, memang kerap ngaseng glewean. Ada tetes hujan, padahal tidak ada mendung sebelumnya. Wajahmu kembali hadir, sesaat setelah singkap wajah gadis itu, agaknya sekilas sama dengan wajahmu. Seharusnya, kau tak lagi hadir disini, maksudku tidak hadir didalam arena benak ini. Sebab, dirimu telah memutus harapan yang dulu pernah ada. Memutus berjuta cita dan cinta, yang pernah aku semai dan sematkan. Aku yang memang telah terlambat hadir, terpaksa menerima keputusanmu yang sepihak itu. Aku yang memang terlambat datang, sekali lagi dengan sangat terpaksa menerima apa adanya, semua hal yang menjadi putusanmu itu. Kau dengannya saat ini, bukan denganku. Kau dengan sejuta cita bersamanya, sedang aku tersungkur jatuh membersamai perihnya debu jalanan. Begitu mudahnya engkau membohongi rasa, begitu ringannya engkau memutus tali yang pernah kita sama-sama ikat.  Wajahmu yang teduh, tak lagi mampu menjadi tempatku menyemai harapan. Bola matamu yang beni...

Manusia yang Manusia (2)

Setelah kita paparkan secara singkat dan sederhana, mengenai "manusia yang manusia (1)", maka sekarang kita paparkan selanjutnya, mengenai "manusia yang manusia (2). Ada begitu banyak penggalan-penggalan kisah, yang larut dalam satu persatu tarikan nafas. Penggalan kisah itu, tidak murni hadir dengan sendirinya, namun silih-berganti dan naik-turun ke permukaan pikiran dan perasaan. Sejatinya, setiap kita memang memiliki taqdir dalam kesunyiannya masing-masing. Spesifikasi setiap kita sangatlah unik, walaupun ada kesamaan dalam lingkup bidangnya. Spesifikasi yang unik tersebut, memberi pesan yang mendalam, ialah kesadaran hablumminannas. Mencintai sesama manusia, adalah instruksi alam bawah sadar manusia itu sendiri. Akan sangat tidak nyaman, apabila manusia itu membenci (lawan dari mencintai), sesamanya. Ketidaknyamanan yang disebabkan oleh benci, akan mencipta benci berikutnya. Sedang benci, akan memproduksi tingkah yang destruktif. Hal tersebut...

Manusia yang Manusia (1)

Seduhan kopi hitam, sedikit sentuhan susu, menjadi awal dari waktu untuk hari ini. Sebuah hari, yang harapannya menjadi titik balik, guna menjalankan hidup ini dengan yang seharusnya.  Hidup yang seharusnya, tentu saja memiliki sisi kebalikannya, ialah senyatanya. Memang hidup dalam zona seharusnya, bukanlah sesuatu yang ringan. Perlu tujuan dan arah yang jelas, terlebih dibutuhkan kuda-kuda yang kokoh, agar tidak gampang roboh. Hidup yang seharusnya, itulah perjuangan sepanjang sejarah kemanusiaan. Setiap waktunya, manusia tidak akan terlepas dari perkelahian akal, dan tidak akan lepas pula dari yang namanya percekcokkan hati. Dua hal tersebut, melingkar pada zone ā€œseharusnyaā€ dan ā€œsenyatanyaā€. Waktu yang tak mampu sedetikpun di pause, apalagi dihentikan, memiliki daya rekam history, maupun daya menembus imaji, yang kesemuanya terrangkum dalam benak. Dari sana, manusia mampu memikirkan tentang yang ā€œsudahā€, sekaligus perihal yang ā€œakanā€. Manusia pada umumnya, mengenaln...

Apa Ada Angin di Surakarta (23)

Waktu berjalan, seolah lebih lama dari biasanya. Ada rasa yang meronta-ronta dalam dada, sesaat setelah engkau mengabari perihal penantian. Tidak ada yang salah atas semua ini, hanya saja, kerap kali gumam bernada sesak dan menyesakkan. Perihal kepastian dan penantian, yang sebenarnya sudah jelas arah, namun tiada jaminan. Tentang kita, sebagai korban dari jarak yang membentang. Aku memang kali ini, tengah berada di jalanan Solo-Yogya, sedang dirimu masih jauh disana.  Kabarmu tentu baik-baik saja, seperti saat terakhir kali kita jumpa, walau sekecap kalimatpun, sampai tak mau terungkap. Tapi, setidaknya kau dan aku pernah merasakan, apa yang kita sama-sama sebut sebagai prasasti kebersamaan. Angin di Surakarta, dan semua hal tentang kita, menyatu dalam nada dan suara, yaitu "sampai kapan jalanan seramai ini, sedang  hanya aku sendiri yang tengah kesepian". Oh.. Cinta, bersabarlah. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 12 November 2019.

Tetes Hujan di Pipimu

Semacam mendapatkan kado terindah, sesaat setelah guyuran romantic langit membasahi sela-sela komplek. Lembut dan relatif dingin, cuaca alam dan gelombang suasananya. Seketika pula, ada historitas bertahun yang lalu, ketika mata menatap mata. Mata yang ringkih, menatap mata yang merintih. Hujan di pelupuk matamu. Adalah tragedi paling menyedihkan, yang pernah terjadi. Adalah fenomena paling mendalam yang menghujam. Adalah momen yang pernah sempat melumat. Adakah sepenggal kisah dan kasih, yang berujung pisah?  Adakah kemarau di dada, yang berimbas meluka? Adakah cerita, yang kemudian menyita seluruh rongga jiwa? Kalau memang ada, maka memang benar adanya. Bahwa dirimu telah melahirkan ingatan, yang tak mudah ditempatkan pada lupa. Walaupun kalimat maaf, mampu terucap dengan penyesalan khilaf. Sebegitunya, dua cincin yang tersemai dalam jemarimu, mampu meruntuhkan mimpi, cita, dan cinta yang sempat tercatat? Sebegitunya, alam mengajari siklus patah d...

Apa Ada Angin di Surakarta (22)

Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Seperti itulah quote yang muncul, membersamai jelitamu malam ini.  Kau tersipu manja, sesaat setelah kalimat demi kalimat tersusun dari bibir merahmu. Gemulai sikap, serta keanggunan yang natural, terbalut dalam satu diantara banyaknya kisah.  Kisah yang menggelisah, membalut sisi-sisi gelap. Membuka cahaya, ditengah pelangi malam. Angin di Surakarta memang kerap memberi kejutan-kejutan menggoda.  Kadang pula menjelma dengan kelakar-kelakar ringan yang khas njawani. Walaupun kadang nggelani ati. Yasudahlah... Lagi pula, hadirmu hanya angin lalu yang melintas, bukan bermaksud untuk meretas dan menetas. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 11 November 2019.

Apa Ada Angin di Surakarta (21)

Kunjungan ke Yogya semenjak pagi tadi, membawa balutan cerita dan makna, yang terbungkus debu-debu jalanan. Cerita dan makna itu, terselip dalam kerumunan riuh-rendah alamiah.  Dari soal kesejarahan, padat merayapnya lalu-lalang, sampai nostalgia cita dan cinta. Semua menyatu dan mengesankan, apalagi simpanan makna yang terkandung  dari balik tatap matamu. Itu sebenarnya, yang aku nanti-nantikan. Saat-saat kembali ke Surakarta, ternyata bukan lagi padat dan merayapnya jalanan, akan tetapi kemacetan akhir pekan yang memberi sapaan. Untungnya, pesona angin di Surakarta, menjadi satu dari sekian alasan, untuk tetap menahan diri dari suasana hati yang tidak menerima. Pada akhirnya, bertemulah diri, pada angin Surakarta yang menyapa dengan hangatnya yang khas. Estetika alam yang alamiah disini, nyatanya masih setia membersamai, dalam rentetan duka dan suka, baik itu yang sudah-sudah, maupun yang akan-akan. Sialnya, angin disini, belum sepenuhnya mampu untuk meleb...

Kata Kunci Dinamika

Sesaat setelah keruwetan jalanan menyelimuti sekujur tubuh, tibalah badan untuk berbaring, nglencengna geger dan merebahkan segala siklus diri. Dalam suasana rebahan itu, timbul lah semacam imaji perjalanan menuju ruang yang sebenarnya. Adalah Klaten, sebagai tempat meriuh-rendahkan segenap rasa dan rasio. Untuk sekadar diujikan dalam kelas intelektual. Terlihat tatap wajah yang unik, dalam arti tak seragam maknanya. Satu persatu dari mereka, melihat ada orang yang berbicara dihadapan. Orang tersebut membagi alaman-alaman dalam range 5 tahunan, ketika bersama organ paling nyentrik dalam kesejarahan Nusantara. Warna dan warni pada rentang sorot matanya, menunjukkan perjalanan akan menempuh jalur yang tepat. Ia menyebutnya, sebagai titik balik kehidupan.  Dari Klaten, berpindah posisi ke Yogya. Sudah lama, tidak berkunjung ke tanah istimewa ini, sejak lebih kurang 2 bulanan. Rindu jelas terasa, kangen amat nyata dahaganya. Hobby bermain PES sejak bangku sekolah,...

Apa Ada Angin di Surakarta (20)

Apalagi yang sempat tergores dalam tatap, kalau bukan sunyi yang menyelinap. Membisik dalam dada, membuka tabir cakrawala. Tentang cantikmu, dan lugu sikapmu. Sapaanmu yang mengernyitkan dahi, seolah meminta dan memohon do'a dini hari. Engkau, barangkali lebih tahu kondisiku akhir-akhir ini. Namun sebenarnya, yang paling paham tentang diri tetaplah diri sendiri. Jalanan Solo-Yogya, masihlah merayap sepanjang hari. Lalu-lalang kehidupan berjalan dengan indahnya. Disinilah perjalanan demi perjalanan terlalui, membersamai Angin dari Surakarta. Entahlah, apa yang membuat kegabutan sanggup menjadi arus utama. Mungkin, soal siklus dan sirkulasi hidup saja. Dan tentunya, kita sama-sama paham, perihal roda yang terus berputar. Oh.. Betapa rahasianya, yang dibalik tabir kenampakan. Semua pasti, memiliki nada, suara, sekaligus ceritanya masing-masing. Entah tentang suka, maupun duka.  Yang jelas, kali ini, angin di Surakarta, sedang kalang kabut oleh sebab, dirimu yang...

(m) Oral

Problem dan problem, sangat amat nggelani ati. Sambat demi sambat terlontar dalam benak, namun tersendat dalam ucap. Sesaat setelah arogansi akademik mempertontonkan kepongahannya. Lagi-lagi ini soal morality, suatu sikap kebudayaan kelas bawah yang ternyata tidak sama sekali berbanding lurus dengan tinggi-rendahnya strata pendidikan formal. Katanya, literasi itu PR besar bangsa. Nyatanya, itu hanyalah kesombongan teks-teks basi, yang katanya ilmiah. Soal moral adalah soal kebudayaan. Soal moral adalah soal jam terbang experience. Dan, soal moral adalah soal relijiusitas yang terinternalisasi dalam sikap dan tindakan yang sopan nan santun. Sikap stereotip jelas adalah musuh akademis, namun hal tersebutlah yang tidak pernah dilepas dari kekuatam arogansi. Hati macam apa yang dengan tega, meludahi perasaan. Akal macam apa yang dengan kejam meludahi nalar sehat. Moral literasi!  Itu PR peradaban. Bukan hanya PR bangsa Indonesia an sich. Peradaban jelas d...

Apa Ada Angin di Surakarta (19)

Terdapat range waktu yang cukup menyita perhatian, adalah semacam kegenitanmu yang menggairahkan. Diamu itu keindahan senja, sedang senyumu adalah candu. Apalagi sapaanmu, itu seperti nada-nada kemesraan yang menghanyutkan. Barangkali, bunga ditepian jalanan itu, akan kuncup dan sekejap layu, oleh karena parasmu yang menggertak estetis. Mungkin pula, angin yang membelai dedauan seketika berhenti meliuk-liuk, oleh sebab anggunmu yang mempesona. Dan, seolah-olah angin di Surakarta lambat-laun berhenti sejenak, untuk menatap dalam senyap, pesona lukisan Tuhan, yang tergambar di wajah manjamu. Sampai-sampai, nalar yang semula sehat, tiba-tiba lumpuh dan terkapar kaku, oleh tatapan matamu yang bak berlian jatuh.  Layaknya hujan yang membasahi tetumbuhan taman surga. Layaknya pula, pejam yang imajinatif-reflektif, membawa lamunan pada permenungan mendalam. Pipimu kemerahan, sekilas mawar yang jatuh berguguran. Dan, tentunya aku rela memungut satu persatu kelopaknya....