Setelah kita paparkan secara singkat dan sederhana, mengenai "manusia yang manusia (1)", maka sekarang kita paparkan selanjutnya, mengenai "manusia yang manusia (2).
Ada begitu banyak penggalan-penggalan kisah, yang larut dalam satu persatu tarikan nafas. Penggalan kisah itu, tidak murni hadir dengan sendirinya, namun silih-berganti dan naik-turun ke permukaan pikiran dan perasaan.
Sejatinya, setiap kita memang memiliki taqdir dalam kesunyiannya masing-masing. Spesifikasi setiap kita sangatlah unik, walaupun ada kesamaan dalam lingkup bidangnya.
Spesifikasi yang unik tersebut, memberi pesan yang mendalam, ialah kesadaran hablumminannas. Mencintai sesama manusia, adalah instruksi alam bawah sadar manusia itu sendiri.
Akan sangat tidak nyaman, apabila manusia itu membenci (lawan dari mencintai), sesamanya.
Ketidaknyamanan yang disebabkan oleh benci, akan mencipta benci berikutnya. Sedang benci, akan memproduksi tingkah yang destruktif.
Hal tersebut, sangat berkebalikan dengan nyaman, yang tercipta dari cinta-mencintai. Sedang cinta, akan menghadirkan tingkah yang konstruktif.
Cinta dan benci, kerap berjalan bergandengan seiring-sejalan. Dua hal yang ber-lawanan, namun terkadang juga ber-kawanan. Dalam artian, melekat terus menerus pada dalam diri dan luar diri. Pada individu dengan individu, maupun individu dengan masyarakat.
Membiasakan diri dengan "yang ber-lawanan dan ber-kawanan" tersebut, adalah perjuangan. Pendeknya, berjuang untuk tidak membenci, sekalipun hal tersebut amatlah menggores dan menusuk jantung batin. Serta berjuang, untuk kemudian mencintai, walaupun kerap dilukai berkali-kali.
Modalitas untuk mampu competence, dalam menghadirkan pembiasaan diatas, adalah dengan "menyadari bahwa kita, masing-masing hanyalah memiliki hak kelola".
Sadar akan hak kelola, merupakan penggalan modalitas, untuk menjadi manusia yang manusia.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 14 November 2019.
Comments
Post a Comment