Angin di Surakarta ini, memang kerap ngaseng glewean. Ada tetes hujan, padahal tidak ada mendung sebelumnya. Wajahmu kembali hadir, sesaat setelah singkap wajah gadis itu, agaknya sekilas sama dengan wajahmu.
Seharusnya, kau tak lagi hadir disini, maksudku tidak hadir didalam arena benak ini. Sebab, dirimu telah memutus harapan yang dulu pernah ada. Memutus berjuta cita dan cinta, yang pernah aku semai dan sematkan.
Aku yang memang telah terlambat hadir, terpaksa menerima keputusanmu yang sepihak itu. Aku yang memang terlambat datang, sekali lagi dengan sangat terpaksa menerima apa adanya, semua hal yang menjadi putusanmu itu.
Kau dengannya saat ini, bukan denganku. Kau dengan sejuta cita bersamanya, sedang aku tersungkur jatuh membersamai perihnya debu jalanan.
Begitu mudahnya engkau membohongi rasa, begitu ringannya engkau memutus tali yang pernah kita sama-sama ikat.
Wajahmu yang teduh, tak lagi mampu menjadi tempatku menyemai harapan. Bola matamu yang bening, tak lagi sanggup aku puja. Dan, anggunnya sikapmu, tak lagi hangat, se-hangat temu yang pernah kau pinta padaku.
Sungguh malang angin malam ini. Seolah menebar beling-beling yang akan melukai se-isi jiwa.
Pada akhirnya, aku hanya akan mampu, menatap indahmu, dari bagian tergelap dalam hidupku.
Oh..
Angin di Surakarta, semoga malam ini juga, adalah malam yang menguatkanku, untuk mampu melepas bayangnya, dengan sepenuhnya.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 14 November 2019.
Comments
Post a Comment