Pelupuk matamu memancar sampai kesini, tepat ditempat dimana aku berpijak. Masih seperti sebelum-sebelumnya, wangimu tercium bak bunga ditepi kebun. Semerbak dan memekak, sampai dahiku meneteskan keringat. Pertanda gejolak jiwa yang terengah-engah, lesu menatap liku jalan yang masih jauh.
Serpihan-serpihan kisah, menyatu dalam kepala dan dada. Menyita concern yang tidak seharusnya, memberi sinyalemen bahwa "ini harus berakhir". Maksudku, mengakhiri dinamika dari sekian puluh hati yang mengintip temu.
Bertahan dan mempertahankan, masih pada posisi yang lebih tinggi, dari pada mendapatkan. Hari ini harus dirubah-putarbalikkan, menjadi core bertahan.
Kelelahan oleh karena jalanan terjal asmara, perlu disudahi dan diistirahatkan. Apabila memang sudah ada didepan mata, orang yang siap menjadi tambatan hati. Dan, disitulah jalanan tempuh-jarak baru, dimulai. Untuk sama-sama meramu dengan sebaik mungkin, apa-apa yang perlu ditambah dan dikurang.
Bukankah ramuan yang nikmat, adalah ramuan rindu yang (kita) masak bersama?
Bukankah cita rasa yang lezat itu, adalah cinta dan kasih yang membaur dalam mangkuk rumah tangga?
Bukankah angin di Surakarta, adalah bagian dari kelanjutan cerita (kita), yang membalut luka dan bahagia?
Aku katakan sekali lagi, padamu. Bahwa dari irama angin di Surakarta ini, aku akan menjemputmu di ruang tamu, bersama keluargaku.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 1 November 2019.
Comments
Post a Comment