Angin di Surakarta, here and now tengah memaparkan ceritanya, tentang kehidupan pagi buta, dini hari. Rentang hidup yang terbatas pada 24 jam, tidak kemudian dihabiskan begitu saja.
Ada banyak pasang mata yang masih terjaga, dalam melek mesranya. Selingan-selingan klakar, tentu menjadi bumbu tersendiri bagi sang penjaga pasang mata itu.
Berpuluh-puluh jiwa pada dini hari ini, masih sempat mewarnai dinginnya gelap-gulitanya langit Kota budaya ini. Tak cukup sampai disitu, rimbunan pepohonan pun, ikut serta berpartisipasi mengisi detik demi detik jalanan.
Aspal raya, kendaraan bermotor, maupun pejalan kaki, pun menjelma bagai hiasan taman hidup di Kota ini. Betapa keindahan tercatat rapih, dalam senandung semilirinya riuh-rendah suara-suara.
Benak ini, tak henti-hentinya menerjemahkan estetika yang terhampar di dekat jantung Kota. Semacam lukisan society, yang ciamik tercipta dengan alamiah.
Resonansi keakraban jelas tercipta, oleh kesantunan warisan luhur peradaban Jawa. Tak heran, jika Kota ini dijuluki the spirit of Java.
Resonansi yang harmoni, tetap akan berpeluang pada disonansi, bahkan clash horisontal bisa saja tercipta, hanya karena urusan perut, maupun bawah perut. Disitulah, kita belajar akan heterogenitas pelangi kehidupan.
Namun, disanalah kita wajib menyiapkan payung dan perkakas mind-body lainnya, yang mampu membentengi diri, dari hujan badai benturan kepentingan yang ada seketika.
Pada saat-saat seperti itulah, kita dibekali sebuah bahasa yang paling universal, yaitu senyuman. Itulah perkakas yang dibekali, oleh cipta, rasa, dan karsa, kebudayaan kita. Untuk seminimal-minimalnya, dapat meredam gejolak batin yang menyejarah.
Wallohu a'lam.
Surakarta, 5 November 2019.
Comments
Post a Comment