Sesaat setelah keruwetan jalanan menyelimuti sekujur tubuh, tibalah badan untuk berbaring, nglencengna geger dan merebahkan segala siklus diri.
Dalam suasana rebahan itu, timbul lah semacam imaji perjalanan menuju ruang yang sebenarnya. Adalah Klaten, sebagai tempat meriuh-rendahkan segenap rasa dan rasio. Untuk sekadar diujikan dalam kelas intelektual.
Terlihat tatap wajah yang unik, dalam arti tak seragam maknanya. Satu persatu dari mereka, melihat ada orang yang berbicara dihadapan. Orang tersebut membagi alaman-alaman dalam range 5 tahunan, ketika bersama organ paling nyentrik dalam kesejarahan Nusantara.
Warna dan warni pada rentang sorot matanya, menunjukkan perjalanan akan menempuh jalur yang tepat. Ia menyebutnya, sebagai titik balik kehidupan.
Dari Klaten, berpindah posisi ke Yogya. Sudah lama, tidak berkunjung ke tanah istimewa ini, sejak lebih kurang 2 bulanan. Rindu jelas terasa, kangen amat nyata dahaganya.
Hobby bermain PES sejak bangku sekolah, terbayar lunas sudah. Ketika saudara yang ngampus di daerah istimewa ini, ngasengi tanding. Itulah ekspresi kegemaran terhadap bola, yang luntur mergo kahanan.
Menuju lokasi peristirahatan di Yogya, wajah kebudayaan mengeluarkan aroma dan warnanya. Jejak-jejak sastrawi Nusantara, tergores pada setiap sudutnya.
Sebelum cahaya, terdapat obrolan-obrolan nostalgia, yang cukup menguras nalar dan menyuguhkan logika. Adalah tentang sederet nama, yang pernah melukis luka paling bahagia.
Dinamika. Itulah key word nya. Kenapa dan bagaimana nantinya, mari kita jalani dan terima, apa adanya saja. Sebelum kemudian, menemui kembali romantisme ke "ada" an angin di Surakarta.
Yang terpenting dari itu semua, kita atau barangkali saya, ialah tetap tepat berjalan pada garis merah shohibu baity-ufuqu syauqi.
Wallohu a'lam.
Yogyakarta, 10 November 2019.
Comments
Post a Comment