Oh..
Teganya dikau, kembali menyelinap dalam benak yang ringkih ini, membersamai mesra malamnya angin di Surakarta.
Wajahmu, ternyata gagal aku lupakan begitu saja. Angin di Surakarta-lah ternyata, yang membawa bayangan "pedih" itu.
Sejuta wajah, sejuta makna. Itulah simpulan sementaraku. Sesaat setelah lampu-lampu tengah bersinar menetap, pada langit-langit atap rumah ini.
Walaupun tak dapat ku gapai, apa yang disebut sebagai dermaga harapan, setidaknya aku pernah "mencicipi" tatapan anggunmu, ditengah Kota waktu itu.
Saat selimut dinginnya derai gerimis pusat Kota waktu itu, aku menatapmu tengah tersenyum, sambil memegang kertas skripsi yang sedang engkau kerjakan, kemudian engkau pun menyodorkan-memperlihatkan padaku.
Aku pun sontak, ikut tersenyum, melihat wajah cantikmu merakah indah. Sembari, aku membelikanmu teh manis kesukaanmu kala itu.
Sungguh momen yang indah, namun perih untuk di kenang. Sebab, dirimu hanyalah selintas dari kisah indah, yang kemudian hilang ditengah pilihan hatimu, yang itu bukanlah hatiku.
Wahai angin di Surakarta..
Kabarkan padanya, bahwa aku baik-baik saja, melihatnya bahagia bersamanya.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 15 November 2019.
Aduhai pujangga sedang bertutur saat malam diselimuti angin jahat hha
ReplyDeleteWaduh, ada akun anonim komen wkwk
ReplyDelete