Skip to main content

Letupan Grit dalam Pusaran Modernitas

Ada insight yang mengelupas dari dalam benak ini, sesaat setelah obrolan yang relatif panjang bersama salah seorang intelektual bernama Pak I. Selain sebagai seorang konsultan di bidang pendidikan, beliau juga tengah menempuh studi master.

Beliau yang saya kenal belum lama ini, terlihat gagah saat berargumen, nampak fasih berbahasa internasional, memiliki power analisa yang tajam, kemampuam komunikasi yang lincah, dst. Hal tersebut, yang kemudian membuat saya tergugah untuk membuka obrolan.

Pembukaan obrolan dengan Pak I ini, saya mulai dengan pertanyaan "Mau neliti tentang apa Pak"? "Masih tentang bidang saya mas, pendidikan", responnya dengan santun nan ramah.

Obrolan kemudian berlanjut, pada soal rutinitas. Rasa penasaran saya terdorong untuk sesegera mungkin menempuh jawaban.

Hal yang kemudian saya tanyakan adalah, soal waktu belajarnya. Pak I ini, sontak memberi jawaban sederhana, "setiap orang punya waktu nyamannya masing-masing mas, kalau saya sendiri habis isya, soalnya itu waktu free saya, dari mengurus urusan keluarga".

Obrolan bersama Pak I, kemudian berlanjut pada soal buku bacaan. Sebagai konsultan pendidikan, beliau cukup unik. Sebab, beliau menempatkan buku pemikiran Islam pada sisi prioritasnya. Yang kemudian, menempatkan posisi wacana sastra, di urutan kedua.

Setelah tetek-bengek obrolan berlangsung, tiba-tiba ada frasa yang membuat hati dan akal terkesima, saat Pak I ini, memberikan berderet simpulan tentang perihal kebahagiaan.

Menurutnya, kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan yang tanpa syarat. Maksudnya, selama ada syarat, maka itu adalah bukan bahagia yang sebenarnya. Bahagia yang sebenarnya, terdapat pada fase tanpa syarat itu. Indikator kebahagiaan saya, adalah saat saya bisa "dekat dengan Tuhan", paparnya.

Untuk mencerna frasa dari Pak I ini, saya menarik nafas sejenak. Sambil merefleksikan makna yang terkandung dalam frasa tersebut. 

Simpulan sementara saya waktu itu adalah, bahagia berkaitan dengan situasi yang tidak ada penekanan, baik itu penekanan kedepan ataupun penekanan kebelakang. Jadi, loss saja. 

Kemudian, beliau juga memberikan eksplanasi terkait kunci kesuksesan. Beliau menaruh "grit" pada posisi yang paling penting dalam kunci kesuksesan seseorang. Grit adalah ketekunan.

Paparnya, grit adalah kunci. Bukan berarti, faktor seperti keturunan (biologis), lingkungan sosial-budaya, dlsb., tidak memiliki pengaruh. Namun, yang paling signifikan adalah grit itu. Orang Jawa menyebutnya "telaten".

Barangkali, insight ini dapat memberikan secercah sinar bagi kita, ditengah gelora kehidupan yang serba uncertainty ini.

Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 16 November 2019.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-