Skip to main content

Sorot Mata Balungan Kere

Tiba-tiba, dan tanpa permisi, angin di Surakarta memberikan kabar. Kalau-kalau apa yang disebut perjalanan hidup ini, perlu untuk di "pertimbangkan". 

Ditengah riuh-rendah suara alam makro dan mikro, terdengar bisikan reflekftif dari dalam benak terdalam. Orang barangkali menyebutnya sebagai lamunan, akan tetapi ini bukan sekadar lamunan belaka. Ini lebih kepada pressure bagi diri dan sekaliber perkakasnya.

Adalah tentang rotasi kehidupan ini, yang tengah terengah-engah dan meliuk-liuk. Semacam underpass Manahan Solo. 

Sesaat setelah debu-debu mengguyur sekujur tubuh di jalanan Solo-Yogya, benak ini kemudian menemukan salah satu dari sekian banyak simpanan cerita.

Adalah perihal sarjana yang pernah mengungkapkan ceritanya (dalam forum Macapat Syafaat), yang mana ia pernah di kritik oleh salah seorang "balungan kere".

Ia (red: sarjana tadi), memberikan eksplanasi pengalamannya, bahwa "tidak elok seorang sarjana berjualan kue pukis".
Sontak, sarjana tadi semacam mendapat petir di siang bolong. 

Lambat-laun, lanjut dia memaparkan, bahwa kemudian membanting setir dari yang tadinya pedagang kue pukis, menjadi pengusaha (boss) warung lamongan, yang membawahi lebih dari tiga cabang.

Transformasi semacam sarjana tadi, barangkali terdapat di tempat dan sudut Kota lainnya. Namun, ada pula pastinya yang tetap pada posisi comfort zone-nya.

Entahlah, yang jelas sorot mata dari para spesies balungan kere, terdapat pesan yang menggelitik, bahwa "seharusnya kau tidak merebut lahan garapan saya", barangkali begitu ucap batinnya, sembari memegang rambut lusuhnya.

Bicara soal rejeki memang amat dinamis, kadang malah diluar kalkulasi rasio. Akan tetapi, memang benar adanya, bahwa sarjana itu tanda orang pernah sekolah, tidak menjamin orang itu berfikir, dalam arti yang sebenarnya.

Pertanyaan dan kesimpulan, tentunya kami persilahkan sepenuhnya, kepada (kita), yang barangkali adalah seorang sarjana.

Yang jelas, "sorot mata" balungan kere, pernah menjadi trigger bagi salah seorang sarjana kita, di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 7 November 2019.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-