Selalu ada sisi ciamik, di sudut-sudut peradaban Surakarta. Tak akan sedetikpun, mata dan telinga tertutup, sebagai sarana menyalurkan makna, ke dalam kepala dan dada.
Anak kecil ada dihadapan, seolah-olah mengungkapkan narasi gembira dengan sepenuh ketulusan. Tawa dan canda, dengan jelas meresap ke seluk-beluk batin yang tengah kalut.
Tumpukan-tumpukan tugas Universitas, memang kerap nggelani ati. Akan tetapi hidup harus terus berjalan, amargi kahanan kebutuhan. Isuk, awan, wengi, sudah menjadi rutinitas berkelahi dengan realitas.
Nyesek tentu semacam menu harian, namun aroma kegembiraan jelas mewarnai, serta berkelindan dengan peran dan tugas harian.
Surakarta memang seksi, bukan sebagai bahasa tubuh, namun sebagai pelipur hati yang luluh, oleh karena sorot matamu yang men-senja.
Iya, matamu men-senja. Sebegitunya, sampai titik fokus terkadang terkelabuhi menjadi bui.
Oooh, angin Surakarta...
Betapa baiknya dikau, yang sangat rajin membelai kusut wajahku yang lelah dan lusuh.
Maka, kalau boleh jujur, lebih baik tetaplah untuk menatap, apabila berkedip akan membuat batinmu terselip.
Sungguh, alunan semilirmu, membuat rongga dada memaksaku untuk merindu.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 5 November 2019.
Comments
Post a Comment