Pagi yang cerah di Surakarta, masih sempat-sempatnya merindui hujan di bulan november ini. Berratus-ratus wajah, berpapas kesana-kemari, pertanda kehidupan dengan segala aktivitasnya tengah berjalan.
Disini, dipinggiran kampus sebelas maret, aku duduk sembari menikmati kopi. Namun, tidak seperti biasanya. Kali ini, yang aku nantikan hadir, bukan hanya parasmu.
Parasmu memang bak taman bunga, yang memiliki berribu keindahan didalamnya. Akan tetapi, keindahannya malah justru kerap memperdayakan jiwa dalam larut. Parasmu memang candu, dan aku adalah salah seorang yang sesekali sakau oleh karena itu.
Berteman kretek berbungkus merah, serts korek gas berwarna merah, menjadi semacam trigger tersendiri, bahwa parasmu bukan hanya untuk dinikmati adanya.
Angin pagi di Surakarta ini, lambat-laun menyita perhatian, sekaligus mencuri-curi kesempatan, tentang prioritas terhadap fokus pilihan.
Sungguh, ditengah berbagai ragam aktifitas, tetap saja parasmu adalah satu-satunya alasan perjuangan. Dan, aktifitas ragamnya itu, hanyalah sekadar pemanis buatan, untuk menahan sesaknya rindu yang membuncah.
Nyatanya, angin di Surakarta ini, bukan hanya unik, namun juga eksotik. Sebab, bukan lagi sebagai penyambung nafas an sich. Tapi, sebuah estetika yang mengantarkan diri ini, pada nada-nada cita dan cinta.
Wallohu a'lam.
Surakarta, 5 November 2019.
Comments
Post a Comment