Skip to main content

Apa Ada Angin di Surakarta (15)


Berlembar-lembar kisah, akan menjadi "sebuah". (Kita) sangat independen untuk memutuskan makna, pada kata sebuah itu. 

Bebas-merdeka, menerjemahkan arti terhadap sebuah itu. Yang jelas, karya makhluk bernama manusia ini, tidak akan pernah memiliki pemberhentian. Paling hanya akan bertemu jeda saja, atau hanya bersanding dengan zone tertentu saja.

(Kita) tengah terengah-engah, oleh nada-nada sunyi yang paling tersembunyi. Terpendam berjibun derita paling mendera. 

Disinalah, di Kota budaya, Surakarta, terdapat belaian angin yang tepat menyentuh dahi yang lelah. Lutut yang kerap ngilu, akan sebuah penantian.

Terbengkalai jatuh, ke dalam palung kenang yang memberontak keluar. Terperangkap dan tertangkap, oleh butanya mata hati peradaban.

Seyogyanya, ada berbagai frasa dan klausa, yang menuduh ini dan itu. Ada terdapat cerita, yang mengampu banyak sekali berita. Untuk (kita) mampu menempuh liuknya, for us to get back together.

Mendekatlah, dan peluklah jiwa yang tengah kalah. Oleh karena mimpi-mimpi yang berserakan, tersungkur ke luar arena pattern.

Angin di Surakarta, tengah gulana, menyambut ujung temu, langit yang menderita kelabu.

Namun, tidakkah sebelum cahaya esok, akan ada selalu bahagia yang menyelinap dalam dada?

Tentang "sebuah", yang liar berjalan, dari sebelum cahaya, menuju ke arah sebelum senja.

Pada kisaran terdekat kepulangan, (kita) sama-sama yakin, bahwa muatan kegembiraan jiwa, akan menemui bahagia, pada akhirnya.

Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 4 November 2019.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-