Berlembar-lembar kisah, akan menjadi "sebuah". (Kita) sangat independen untuk memutuskan makna, pada kata sebuah itu.
Bebas-merdeka, menerjemahkan arti terhadap sebuah itu. Yang jelas, karya makhluk bernama manusia ini, tidak akan pernah memiliki pemberhentian. Paling hanya akan bertemu jeda saja, atau hanya bersanding dengan zone tertentu saja.
(Kita) tengah terengah-engah, oleh nada-nada sunyi yang paling tersembunyi. Terpendam berjibun derita paling mendera.
Disinalah, di Kota budaya, Surakarta, terdapat belaian angin yang tepat menyentuh dahi yang lelah. Lutut yang kerap ngilu, akan sebuah penantian.
Terbengkalai jatuh, ke dalam palung kenang yang memberontak keluar. Terperangkap dan tertangkap, oleh butanya mata hati peradaban.
Seyogyanya, ada berbagai frasa dan klausa, yang menuduh ini dan itu. Ada terdapat cerita, yang mengampu banyak sekali berita. Untuk (kita) mampu menempuh liuknya, for us to get back together.
Mendekatlah, dan peluklah jiwa yang tengah kalah. Oleh karena mimpi-mimpi yang berserakan, tersungkur ke luar arena pattern.
Angin di Surakarta, tengah gulana, menyambut ujung temu, langit yang menderita kelabu.
Namun, tidakkah sebelum cahaya esok, akan ada selalu bahagia yang menyelinap dalam dada?
Tentang "sebuah", yang liar berjalan, dari sebelum cahaya, menuju ke arah sebelum senja.
Pada kisaran terdekat kepulangan, (kita) sama-sama yakin, bahwa muatan kegembiraan jiwa, akan menemui bahagia, pada akhirnya.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 4 November 2019.
Comments
Post a Comment