Skip to main content

Tetes Hujan di Pipimu

Semacam mendapatkan kado terindah, sesaat setelah guyuran romantic langit membasahi sela-sela komplek. Lembut dan relatif dingin, cuaca alam dan gelombang suasananya.

Seketika pula, ada historitas bertahun yang lalu, ketika mata menatap mata. Mata yang ringkih, menatap mata yang merintih.

Hujan di pelupuk matamu. Adalah tragedi paling menyedihkan, yang pernah terjadi. Adalah fenomena paling mendalam yang menghujam. Adalah momen yang pernah sempat melumat.

Adakah sepenggal kisah dan kasih, yang berujung pisah? 

Adakah kemarau di dada, yang berimbas meluka?

Adakah cerita, yang kemudian menyita seluruh rongga jiwa?

Kalau memang ada, maka memang benar adanya. Bahwa dirimu telah melahirkan ingatan, yang tak mudah ditempatkan pada lupa. Walaupun kalimat maaf, mampu terucap dengan penyesalan khilaf.

Sebegitunya, dua cincin yang tersemai dalam jemarimu, mampu meruntuhkan mimpi, cita, dan cinta yang sempat tercatat?

Sebegitunya, alam mengajari siklus patah dan berganti. Sebegitunya pula, alam memberi arti dari segala macam sisi, yang memberi "camkan".

Hujan di pelupuk matamu, adalah sebuah penggalan, dari beribu-ribu catatan kelam, yang tersimpan kalut dalam carut.

Memanglah, setiap tetes hujan itu, akan dengan sendirinya, meredam aspek-aspek yang kerap gagal terucap. Apalagi, keramahan sesekali berkelahi dengan kemarahan.

Yang jelas, tetes hujan di pipimu itu, pernah berkisah, tentang pisah yang menyerta gelisah paling basah.

Dan pastinya, pelangi di lingkaran matamu itu, pernah singgah, walau hanya sekejap menggeletak.

Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 11 November 2019.





Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-