Semacam mendapatkan kado terindah, sesaat setelah guyuran romantic langit membasahi sela-sela komplek. Lembut dan relatif dingin, cuaca alam dan gelombang suasananya.
Seketika pula, ada historitas bertahun yang lalu, ketika mata menatap mata. Mata yang ringkih, menatap mata yang merintih.
Hujan di pelupuk matamu. Adalah tragedi paling menyedihkan, yang pernah terjadi. Adalah fenomena paling mendalam yang menghujam. Adalah momen yang pernah sempat melumat.
Adakah sepenggal kisah dan kasih, yang berujung pisah?
Adakah kemarau di dada, yang berimbas meluka?
Adakah cerita, yang kemudian menyita seluruh rongga jiwa?
Kalau memang ada, maka memang benar adanya. Bahwa dirimu telah melahirkan ingatan, yang tak mudah ditempatkan pada lupa. Walaupun kalimat maaf, mampu terucap dengan penyesalan khilaf.
Sebegitunya, dua cincin yang tersemai dalam jemarimu, mampu meruntuhkan mimpi, cita, dan cinta yang sempat tercatat?
Sebegitunya, alam mengajari siklus patah dan berganti. Sebegitunya pula, alam memberi arti dari segala macam sisi, yang memberi "camkan".
Hujan di pelupuk matamu, adalah sebuah penggalan, dari beribu-ribu catatan kelam, yang tersimpan kalut dalam carut.
Memanglah, setiap tetes hujan itu, akan dengan sendirinya, meredam aspek-aspek yang kerap gagal terucap. Apalagi, keramahan sesekali berkelahi dengan kemarahan.
Yang jelas, tetes hujan di pipimu itu, pernah berkisah, tentang pisah yang menyerta gelisah paling basah.
Dan pastinya, pelangi di lingkaran matamu itu, pernah singgah, walau hanya sekejap menggeletak.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 11 November 2019.
Comments
Post a Comment