Tepat jam 6 pagi waktu Indonesia barat tanggal
24 Agustus 2019, adalah start saya dari rumah (Banyumas), untuk menuju
Semarang, tempat dimana lokasi kader-kader IMM mengadakan latihan instruktur
dasar. Perjalanan tersebut saya lalui menggunakan sepeda motor. Motor yang saya
jalankan menmbus Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara, Batang, Kendal, yang
beberapa kali harus rehat sejenak dalam rangka nglencengna gulu, nglencengna
geger, dan yang paling penting adalah mbeneri niat. Pada akhirnya, sampailah
saya di Semarang pada jam 5 sore.
Perjalanan yang cukup menguras energi, namun
meaning full. Dari 5 kota yang saya lewati, saya disuguhi dimensi peradaban
dari zaman yang kuno, modern, sampai postmodern, baik itu yang berbentuk fisik
maupun non fisik.
Tujuan utama saya mampir ke Semarang,
sebenarnya hanya menyanggupi undangan IMMawan/ti yang sedang mengadakan
kegiatan di Ma’had Tahfidzul Qur’an Universitas Muhammadiyah Semarang. Namun
ada kegiatan yang memaksa psikis saya untuk hadir, yaitu kegiatan Gambang
Syafaat, yang merupakan simpul maiyah di Semarang Raya, pada hari ahad 25
Agustus 2019, jam 20.00 WIB, di komplek simpang lima. Saya pun otw menuju
lokasi dengan jalur solo karir, alias piyambekan.
Dalam edisi agustus ini, maiyah Gambang
Syafaat mengangkat tema “Tandang Tanding”. Sebuah tema yang mengundang tanya
dalam batin setiap orang yang melihatnya, termasuk saya. Sesampainya di lokasi
tempat maiyah itu diselenggarakan, saya disambut oleh seorang mahasiswa asal
UIN Walisongo. Kita ngobrol dari hal-hal yang basa-basi menuju hal-hal yang
substansi, yang kemudian diselingi saling bertukar kontak WA. Dalam hati saya
mengatakan, “alhamdulillah, nambah sedulur”.
Tulisan ini, entah berjenis kelamin apa, tidak
saya pedulikan, mau itu esai, reportase, atau sekadar curhatan, intinya yang
penting saya mampu menorehkan narasi yang bisa dibaca dan dapat bermanfaat bagi
kita semua termasuk saya sendiri.
Judul “berjama’ah melawan diri”, adalah judul
yang saya putuskan saat saya memulai menulis ini pada jam 02.37 waktu Indonesia
Semarang. Judul diatas berangkat dari sebuah keresahan kecil dalam batin saya,
dalam hal mensikapi realitas hidup yang kerap kali kita kesulitan dalam rangka
mengendalikan hawa nafsu, atau segala hal yang dapat menjerumuskan kita
terhadap semua hal yang menurut agama dilarang.
Berjama’ah melawan diri, secara sederhana
memiliki arti bareng-bareng kita mengendalikan diri. Diri disini tentu saya
artikan sebagai diri yang dikuasai oleh hawa nafsu, yang rutin mendorong kita
untuk berbuat yang dilarang agama. Misalnya sombong, iri, dengki, riya, dan
lain sebagainya, pokoknya segala hal yang buruk, yang potensinya setiap hari
muncul.
Menurut saya, tidak ada pilihan lain yang
efektif untuk mengendalikan hawa nafsu dalam diri, selain berjama’ah, atau
bersama-sama. Hal ini senada dengan apa yang pernah disampaikan oleh kholifah Ali
Bin Abi Thalib, yaitu berkumpulah dengan orang-orang sholeh/solehah, itulah
salah satu obat hati. Sebab bagaimanapun hawa nafsu itu letaknya ada di dalam
hati kita, artinya kalau hati kita itu didominasi oleh hawa nafsu maka harus
segera mendapatkan obatnya.
Hati merupakan “barang” yang dimiliki oleh
siapapun. Dari pejabat, pedang, karyawan, petani, sampai pengangguran, mereka
semua memiliki hati. Maka logikanya adalah, siapa yang punya hati, berarti dia
selalu dihinggapi potensi baik dan buruk. Percekcokan dan perkelahian antara
dorongan baik dan buruk selalu hadir, kapanpun dan dimanapun. Maka kita pun
dituntut untuk terus menerus mengendalikannya, agar yang ter-ekspresikan adalah
yang baik-baik.
Berjama’ah melawan diri, dalam pengertian
diatas itu, menurut saya adalah perjuangan sepanjang masa, alias seumur
hidup. Berjama’ah dibutuhkan ilmu
manajemen. Manajemen itu teknis. Hal yang teknis tersebut, supaya slamet sampai
tujuan adalah dengan “menjadi manusia nilai”. Manusia nilai adalah manusia yang
terdapat Tuhan dalam setiap aktifitasnya. Mau jadi pejabat, mau jadi rakyat,
semua harus memiliki pegangan nilai, yaitu nilai Tuhan.
Nilai Tuhan inilah, yang harus dijadikan
filosofi kita ber-tandang (bertindak). Tidak lain dan tidak bukan, agar supaya
kita selamat sampai tujuan, ialah kembali ke Tuhan. Maka pekerjaan rumah batin
kita yaitu me-nandangi aturan main kehidupan, untuk ber-tanding dan menandingi
hawa nafsu dalam diri kita. Dan, ini merupakan pekerjaan yang sangat berat,
maka perlu gotong royong dan berjama’ah. Mudah-mudahan dan semoga, kita mampu untuk
berjamaah melawan diri, untuk tetap berada dalam lajur “amanu wa ‘amilu
sholihati wa tawa sow bil haqi wa tawa sow bi sobri”.
Wallohu a’lam.
Semarang, 26 Agustus 2019.
Comments
Post a Comment