Selasa, 3 September 2019, waku menunjukkan pukul 5.34 WIB. Lalu-lalang aktifitas kendaraan bermotor mulai memadat-merayap ditengah angin yang riuh-rendah. Tidak begitu mengesankan, dalam arti keberbedaan yang terasa cukup biasa-biasa saja. Namun ada makna baru dalam setiap lembaran-lembaran nafas yang terhembus dari hidung setiap insan. Baik yang secara sadar di bangun, maupun yang tidak begitu amat disadari.
Ada kesan tertentu dalam setiap hela senyum batin, serta ada sisi lain yang menyertainya, ialah tujuan didepan. Tidak mungkin tidak, kalau setiap kita memiliki tujuan itu. "Itu" disini bermacam ragamnya. Dari mulai sejauh mata memandang, maupun sejauh jarak berfikir dan ber-imaji. Tentulah dibutuhkan energi, untuk kemudian setiap waktunya dipompa, dalam tuntunan misi. Orang menyebutnya rencana (pendek-menengah-panjang).
Sejak kira-kira 9 tahunan, saya menduga bahwa ada taqdir yang diberikan Tuhan kepada saya untuk menjadi sosok "guru". Dugaan ini bukan lagi menjadi sebuah hipotesa, namun sudah beralih menjadi nyata dan fakta. Terlebih ada gen yang dialirkan oleh keluarga besar biologis, juga oleh keluarga besar sosio-psikologis. Dan disitulah, terdapat hal yang paling saya hindari, ialah "menggurui". Berbeda jauh antara guru dengan menggurui.
Menggurui sebenarnya tidaklah buruk, bahkan dalam hal-hal tertentu sangat dibutuhkan. Akan tetapi, ada term yang menurut saya lebih indah dari menggurui, adalah "membersamai". Tentunya membersemai disini dalam hal-hal yang baik, yang mempunyai sisi luas kali dalam, salah satunya ialah membersamai dalam ta'awanu 'alal birri wattaqwa.
Diantara kita, kalau diberikan kesempatan untuk jujur, maka yang akan muncul dalam hati terdalam adalah kata "sepi". Ini bukan claim sepihak, namun realita yang kita sama-sama hadapi. Penjelasannya sederhana, yaitu masing-masing kita memiliki kesadaran masing-masing. Kesadaran itu diperoleh dari panca indra, yang kemudian diolah dalam akal dan hati, bahasa lainnya pikiran dan perasaan. Kita tidaklah pernah hidup bersama dalam internal atau sisi dalam diri, yang bersama hanyalah eksternal, atau sisi luar diri kita. Itu yang saya maksud dengan sepi, yang berbeda dengan kesepian.
Sepi yang mutlak terjadi ini, tidak boleh dibiarkan begitu saja. Harus dihiasi dengan interaksi. Interaksi itu terdapat dalam lingkup verbal dan non verbal. Bentuknya macam-macam, dari mulai perkara Pemerintah RT sampai Pemerintah Pusat, bahkan kemanusiaan universal-global. Semua berkelindan pengaruh-mempengaruhi. Yang kita butuhkan saat ini itu, konten sistemik yang akan mengisi interaksi itu. Bukan yang ugal-ugalan. Memang tidak mudah, dan bukan perkara yang gampang, untuk sampai dalam sebuah kekompakkan batin dan lahir, untuk tidak ugal-ugalan tadi.
Membersamai dalam derap langkah perjalanan sepinya sisi internal diri merupakan agenda yang cukup jarang dilakukan, untuk tidak mengatakan tidak pernah dipraktekkan oleh masyarakat kita. Kecuali barangkali masyarakat Madinah saat di bersamai oleh Muhammad SAW, dari mulai cipta, rasa, sampai karsa.
Saya sebenarnya tidak "krasan" untuk mengatakan bahwa, kita lebih sering membiarkan diri untuk berkelahi dengan sepi-sepi. Yang ujungnya kerap tidak sengaja justru saling melukai, sisi-sisi dan sudut-sudut luar-dalam diri kita. Untuk menghadapinya kita punya values luhur MHB, RR, WP.
Kita masih dan akan terus butuh akan frasa filosofis, "Memayu Hayuning Bawono (MHB)", dengan bekal "Rarasaning Rasa (RR)", untuk sampai pada lokasi '"Wiwaraning Praja (WP)". Dan tidak sewajarnya kita menunggu semua itu terlaksana, tanpa kita sendiri yang menciptakannya.
Wallohu a'lam.
Surakarta, 3 September 2019.
Comments
Post a Comment