Indonesia yang lahir pada 1945, telah melalui berbagai dinamika kesejarahannya sampai 2019 ini. Selalu ada cerita bahagia, namun tidak sedikit terdapat paparan luka. Baik itu yang terjadi oleh cipratan konflik dari dalam, ataupun goresan konflik dari luar.
Saat ini, barangkali sudah tidak relevan lagi kalau segala kejadian konflik itu, disebabkan oleh rendahnya pendidikan. Hal tersebut terbukti, dengan adanya extra ordinary crime (korupsi) yang meluas, dan itu dilakukan oleh para orang-orang yang tingkat pendidikannya tinggi.
Pendidikan karakter yang mulai disuarakan secara resmi oleh penguasa, kira-kira sejak 4 tahunan ini, belum menemui impact positif. Justru malah menuai masalah-masalah baru, terkhususnya muncul kritik dari para pelaku pendidikan (sekolah) itu sendiri.
Singkatnya, pendidikan karakter itu bermaksud untuk membentuk pribadi yang memiliki integritas dan profesionalitas, dalam seluruh lini kehidupan. Pembentukan moralitas dan kinerja produktif, telah diupayakan dengan usaha yang sistemik melalui kurikulum.
Kalau ngomongin tentang Indonesia memang tak ada habisnya, terutama soal kebobrokan para elite. Idealnya para elite itu menampilkan hal-hal yang positif, namun realitanya, mereka justru berulang-kali memproduksi hal-hal yang negatif. Memang tidak semuanya begitu, cuman nasib rakyat jelas-jelas merintih sedih, yang merindukan kasih sayang kebijakan berkeadilan.
Berat dan rumit, kalau-kalau membicarakan Indonesia, dengan segala kebulusannya. Soal harta dan tahta, yang selalu menjadi panglima. Soal nafsu kuasa, dan libido raksasa yang mencita-citakan bahagia diatas penderitaan yang penuh luka.
Tidak ada pilihan lain, selain memberikan maaf. Terutama bagi mereka yang dengan sengaja, memporak-porandakan kemiskinan, penindasan, eksploitasi alam, jual-beli jabatan, sikut-menyikut peluang, potong-memotong masa depan. Semua itu, memang berat, namun bisa dimaafkan. Walaupun sangat sulit dilupakan.
Rakyat Indonesia yang berjuta-juta hidup dibawah garis kemiskinan, jelas-jelas selalu menantikan keadilan. Keadilan yang dinantikan untuk semua dan seluruh, bukan keadilan yang di monopoli, demi status quo kekuasaan.
Maka tidak heran, beberapa masyarakat komplek di Indonesia ini, kemudian melayangkan aksinya. Baik itu melalui sisi dalam kekuasaan, maupun berangkat dari luar sisi kekuasaan (jalanan). Ada juga yang melontarkan kegelisahannya, dengan dzikir setiap malam.
Memaafkan memang tidaklah sulit-sulit amat, namun melupakan itu yang berat. Apalagi melupakan sesuatu yang terulang-ulang. Kejahatan dan penindasan sistemik, seakan-akan menjadi passion.
Saya terus berharap bahwa, adagium latin "homo homini lupus" (Manusia adalah serigala bagi sesama manusianya), tidak terus menerus dipelihara. Sebab kekuatan sifat Tuhan yang rahman-rahim, ada dalam setiap diri manusia. Cuman acapkali, sifat tersebut sering sengaja dilupakan, oleh karena mereka yang jahat. Oleh mereka yang sebenarnya takut hidup.
Alhamdulillah-nya, kesadaran profetik menurut Muhammad Iqbal, masih dimiliki oleh sebagian kita. Kesadaran empatik yang sejati, tentang upaya transformasi keluhuruan akal dan ketulusan hati.
Namun tetap saja perlu disiapkan kuota kecewa, khususnya kepada para penguasa, yang mementingkan diri dan kelompoknya, bukan kepentingan bersama. Untungnya, arus besar masyarakat kita surplus kuota kecewa.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 23 September 2019.
Comments
Post a Comment