Waktu yang dinanti-nantikan pada akhirnya
tiba, ialah saat saya dapat duduk bersama jama’ah maiyah Banyumas raya, Juguran
Syafaat di Purwokerto. Juguran Syafaat yang rutin diadakan setiap bulan,
biasanya diagendakan pada sabtu malam minggu. Namun pada edisi ke-77 kemarin,
sedikit berbeda, yaitu dijadwalkan pada hari senin malam selasa, barangkali
sebab menghormati hari raya idhul adha.
Pada Juguran Syafaat edisi ke-77 itu, penggiat
mengangkat tema “Klinik Tauhid”. Sebuah tema yang menarik, sampai-sampai imajinasi
saya berlari kesana-kemari untuk membayangkan apa itu klinik tauhid, terlebih
gambar yang ditampilkan pada tema itu berisi tangan seseorang yang memegang
obat-obatan kimia.
Saya yang bertempat tinggal di desa Sirau,
Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas, harus menempuh perjalanan sekitar 40
menitan untuk sampai ke pusat kota Purwokerto, menggunakan sepeda motor. Saya
berangkat tidak sendirian, kebetulan malam itu tetangga saya berkenan untuk
ikut hadir juga, kami berdua berangkat boncengan.
Karena harus mampir ke rumah saudara di desa
Karangnangka, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, maka sampailah kami
di lokasi tempat maiyahan sekitar jam 9an. Acara memang sudah dimulai sejak jam
8, namun kami belum terlewat cukup lama. Kami masih bisa menangkap prolog yang
diberikan oleh para penggiat, dalam hal ini menyangkut tema yang saya menaruh
rasa penasaran padanya.
Saat yang ditunggu-tunggu tiba, dimana mas
Karyanto memberikan penjelasan terkait tema yang diangkat pada edisi bulan
agustus ini, yaitu klinik tauhid. Mas Karyanto menjelaskan bahwa, ia meresahkan
terkait simbolitas keberagamaan masyarakat kekinian. Beliau mencontohkan
tentang masjid yang kemarin banyak dijadikan lahan kampanye pemilu 2019, juga
memberi permisalan pada hijab yang diklaim syar’i dan non syar’i, intinya
menyangkut keberagamaan yag acapkali hanya sampai pada hal-hal simbolik, dan
nihil substansi. Maka klinik tauhid perlu dihadirkan agar mampu menjadi obat
dari minimnya substansi keberagamaan. Lebih kurangnya begitu penjelasan yang
saya tangkap.
Malam di Purwokerto yang cukup dingin itu, dan
lingkar maiyah yang semakin romantis malam itu, seperti biasanya diberikan
selingan lantunan musik. Salah satu jamaah perempuan memberikan sumbangan
kepiawaiannya bermain gitar dan menyanyikan lagu. Lagu yang dibawakan berjudul
“hujan” yang dipopulerkan oleh band Utopia. Hadirin yang berjumlah hampir
ribuan itu hanyut dalam suasana romantis lagu hujan. Psikologis jamaah “kawin
kontrak” dengan situasi dan kondisi alam Purwokerto yang lama tidak dijatuhi
banyu langit. Rupa-rupanya, tatapan wajah jamaah memberikan pesan bahwa mereka
sangat merindukan hujan turun, mengikuti irama lagu dan mimik wajah
penyanyinya. ”Ada hujan dimusim kemarau”, kira-kira begitulah kalimat yang
konklusif dari seluruh jamaah dalam batinnya.
Waktu menunjukkan jam 11 malam, pemantik inti
dalam forum maiyahan mulai menduduki posisinya dihadapan para jamaah.
Diantaranya Pak Titut dan Pak Agus Sukoco. Dua orang yang rutin membersamai
kami para jamaah setiap bulannya. Dua orang yang memiliki fadhilah keagamaan
dan kebudayaan yang mumpuni, dalam penilaian saya pribadi dan saya yakin juga
para jamaah maiyah Banyumas raya sekalian. Bahasa ngapak, bercampur dengan rasa
tasawuf, sekaligus filosofis, selalu melekat dalam alam pikiran mereka berdua.
Diksi-diksi yang tak lazim selalu memberi cita rasa estetis dalam retorikanya
saat berbicara.
Nampaknya eksplanasi dan uraian kedua orang
itu benar-benar mengganggu pikiran sata, sehingga dari awal saya berniat
meramunya kembali untuk kemudian saya tulis. Dalam tulisan ini, saya coba
meramu bahasa dan bahasan para pemantik. Untuk memudahkan saya dalam
menuliskannya, nama pemantik itu saya kutip secara acak, mudah-mudahan tidak
keluar dari nilai komprehensi dan tidak terlempar dari kebermaknaan uniknya.
Tentu tulisan ini jauh dari tata tulis akademis konvensional.
Bahasan pada malam itu, berangkat dari
keresahan terkait masalag keberagamaan masyarakat kekinian. Keresahan terhadap
konflik masyarakat yang akhir-akhir ini semakin menjadi-jadi dalam pusaran
konflik horisontal-vertikal, yang kerap terjadi dalam dunia maya, sampai dunia
nyata.
Seperti yang diucapkan oleh Dr. Haryatmoko,
bahwa dalam era post-truth sekarang ini, agama merupakan bahan seksi untuk
mencipta perkelahian di media sosial. Agama yang memiliki nilai agung dan luhur
dari Tuhan, kerap dipakai sebagai alat pembenaran dalam hal politik, dan aspek
kehidupan lainnya. Distorsi dan deviasi keagamaan dari waktu ke waktu semakin
menjadi-jadi. Walapun kita juga wajib bersyukur, sebab arus besar keberagamaan
saat ini, masih terkondisikan oleh organisasi besar Muhammadiyah dan Nahdhotul
‘ulama, dan rasa-rasanya tidak berlebihan jika saya menempatkan maiyah, yang juga
sebagai arus besar umat Islam akhir-akhir ini.
Formulasi yang muncul dari fenomena kerusuhan
psikologis dalam masyarakat atas nama agama, menurut penulis diantaranya dapat
ditempuh melalui satu-satunya pendekatan. Adalah memaknai kembali nilai-nilai
yang terkandung dalam jiwa dan raga atas setiap diri kita masing-masing. Yap,
kata kuncinya “sadar diri”.
Kita harus sadar diri, bahwa setiap manusia
memiliki fitrah (bawaan) yang baik. Hal tersebut tidak bisa dibantah, bahkan
ilmu pengetahuan modern sekalipun tidak bisa tidak untuk mengakui hal ini.
Nilai fitrah baik ini, menyatu dalam diri setiap jiwa dan raga manusia, asalkan
manusia tersebut mau berfikir jauh kedalam batin paling dalam (nurani).
Perseteruan yang terjadi dalam masyarakat,
misalnya dalam perkara ekonomi, juga nampak jelas karena kebudayaan luhur kita
sudah dibalik dan terbalik. Misalnya idiom Jawa yang mengatakan, “mangan ora
mangan sing penting kumpul”, dibalik menjadi “kumpul ora kumpul sing penting
mangan”, dengan hal tersebut maka moralitas kita jungkir dan anjlok menjadi
manusia-manusia rakus yang kerap tega memakan darah daging kemanusiaan.
Ibadah sebagai tujuan manusia di ciptakan,
harus digembirakan dan dirayakan, bukan malah dibebankan oleh diri kita
sendiri. Salah satu praktek membebankan ibadah, yaitu membalikkan nilai luhur
menjadi nilai hancur, dari menuruti kecendurungan dasar menjadi kecenderungan
pasar. Kita kerap dipertontonkan dengan perkelahian yang semakin tidak
manusiawi, baik itu terdapat dalam TV, maupun dalam kerangka masyarakat
terdekat.
Kita nampaknya harus setiap saat dan waktu,
untuk terus menerus dikecam oleh idiom Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un.
Kebutuhan primer kita sebagai manusia adalah kembali ke Tuhan. Kita juga sangat
diberikan kemerdekaan untuk memilih, antara kembali dengan memandangi-Nya atau
membelakangi-Nya.
Wallohu alam.
Banyumas, 16 Agustus 2019.
Comments
Post a Comment