Kalau ada yang berbicara tentang keindahan
idhul adha, maka yang terbayang dalam benak saya cukup sederhana, adalah
enaknya sate kambing dan rendang daging sapi. Aroma kemeriahan idhul adha dalam
konteks masyarakat, mulai terasa ketika ada upacara haji. Orang desa yang akan
berangkat haji, seolah wajib hukumnya untuk terlebih dulu mengadakan “upacara”
pra keberangkatan menuju negeri Arab di timur tengah sana. Maka tidak heran,
jika idhul adha, kadang-kadang juga akrab dinamakan oleh masyarakat sebagai
lebaran haji.
Pada tahun 2019 kali ini, cukup terdapat
kesamaan dari perayaan idhul adha pada tahun sebelumnya, ialah ucapan-ucapan
yang membludak dari akun media sosial, baik itu yang bersifat pribadi maupun
milik bersama. “Selamat hari raya idhul adha....bla bla bla...”, kira-kira
begitu ucapan secara umum. Hal tersebut sangat positif, mengingat teori
sentimen masyarakat milik salah seorang sosiolog kenamaan, Emile Durkheim,
selalu compatible dari zaman ke zaman. Orang akan ikut merasakan kemeriahan
idhul adha, tanpa harus datang ke masjid-masjid, mushola-mushola untuk terlibat
paduan suara takbir.
Zaman
digital yang sudah merasuk dalam sanubari masyarakat kita, sejak sekitar 10
tahunan memberikan angin segar dan warna yang berkilau bagi keberagamaan
ditengah keberagaman. Orang bisa mengekspresikan keberagamaannya, tanpa
dihalangi oleh hirarki struktur masyarakat, juga tanpa tersendat oleh
feodalistik yang terselubung. Tingkat pendidikan dan keahlian seseorang, tidak
lagi mengalau laju ekpresi-ekspresi keberagamaan. Orang bisa “sewudele dewek”
selfie, dalam rangka membagikan aktifitas keberagamaannya, misalnya saat usai
sholat id.
“Jejak Ibrahim”, merupakan penggambaran yang
eksis dan esensi, dari pada idhul adha ini. Dimana sudah kita ketahui bersama,
bahwa Nabi Ibrahim AS diperintahkan untuk menyembelih anaknya, yang kelak
menjadi Nabi pula, yaitu Ismail. Kita bisa membayangkan, bagaimana gejolak
psikis Nabi Ibrahim AS, ketika mendapatkan perintah Alloh SWT tersebut. Takut,
cemas, sampai stress, tentu akan menimpa manusia biasa pada umumnya, begitu
juga yang menimpa Nabi Ibrahim AS. Namun, karena ini merupakan perintah Tuhan
yang maha besar, maka mau tidak mau harus dilakukan.
Ada yang unik dari mekanisme yang
diekspresikan Nabi Ibrahim AS, saat sebelum melaksanakan perintah Alloh
tersebut. Nabi Ibrahim AS, melakukan dialog terlebih dahulu bersama Ismail
anaknya. “wahai anakku, aku mendapatkan perintah untuk menyembelihmu, bagaimana
menurutmu”, kata Nabi Ibrahim AS. “kalau memang itu adalah perintah Alloh, maka
laksanakan saja wahai ayahku, semoga kita termasuk orang-orang yang sabar”,
kata Ismail. Sungguh itu merupakan dialog yang sangat “mengerikan”.
Bayangkan saja, Nabi Ibrahim AS yang sudah
lama menanti-nantikan seorang anak, bahkan sampai menikah dua kali, harus
mendapatkan perintah yang amat berat. Tak terbayangkan pula, seorang Ismail
rela menyediakan lehernya untuk diiris menggunakan pisau tajam oleh ayahnya
sendiri. Ini adalah pertunjukkan akrobatik yang dramatis, antara seorang ayah
dan anak, yang semata-mata menjalankan perintah Alloh SWT.
Namun kita semua sudah tahu, pada akhirnya
Ismail yang semula akan disembelih oleh Nabi Ibrahim AS, dirubah oleh Alloh
menjadi seekor kambing. Hal tersebut lah, yang kemudian menjadi syariat Islam.
Bahwa setiap tanggal 10 Dzulhijjah, diperingati sebagai hari raya idhul adha.
Makna idhul adha yang mulia, apabila kita
ulik-ulik, maka akan selalu memiliki nilai estetis yang tak habis-habis.
Misalnya makna menyembelih hewan qurban, itu mengandung arti agar kita mampu
menyembelih unsur kehewanan (hawa nafsu) dalam diri masing-masing kita.
Misalnya lagi, membagikan daging sembelihan kepada masyarakat luas, mengandung
pesan moral agar kita senang berbagi, melatih kita untuk bersikap dermawan.
Orang Indonesia yang terkenal suka membuat
kelakar dan lelucon, pernah memunculkan sebuah quote yang unik dan menyejarah,
yaitu “Qurban Perasaan”. Selintas itu hanya, dan hanya sebuah guyonan, namun
menurut saya itu maknanya dalam. Setiap hari kita menghadapi ujian, yang
umumnya adalah mengendalikan hawa nafsu, misalnya godaan untuk mencuri,
menghina, dlsb. Menahan diri dari berbuat keburukan, itu juga merupakan sebuah
tindakan kongkret “qurban perasaan”. Sebab, keimanan seorang muslim adalah
meyakini 1000%, bahwa kehidupan setelah mati benar nyata akan terjadi. Maka
selama di alam dunia, sebisa mungkin kita tetap berusaha untuk menahan diri
dari berbuat dosa, dengan cara tetap bersabar.
Sabar dalam ketaatan yang dicontohkan oleh
Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail, bukanlah perkara yang enteng. Perlu
latihan-latihan kesabaran dalam setiap harinya, seminimal-minimalnya sabar
untuk tetap melaksanakan sholat wajib 5 (lima) waktu. Dan, yang tak kalah
substansial adalah tetap bersabar menunggu jodoh, juga bersabar melihat dia
berkeluarga dengan yang lainnya. Semoga, idhul adha kali ini, dapat membekas
sebuah nilai luhur, tentang sebuah ketaatan kepada yang maha dari segala maha.
Wallohu a’alam.
Banyumas, 11 Agustus 2019.
Comments
Post a Comment