Pernahkah kita bertanya, siapakah yang paling dekat dalam
hidup ini? Barangkali beberapa diantara kita akan menjawab keluarga. Ada pula
yang menjawab tetangga, sahabat, bahkan Tuhan. Jawaban-jawaban yang mengandung
unsur “barangkali” tersebut, tidaklah keliru. Namun acapkali, arti kedekatan
diasosiasikan dalam hal fisik, terutama soal intensitas pertemuan.
Kalau dicermati secara cepat-cepat, intensitas pertemuan
merupakan instrumen yang pragmatis untuk mencipta kedekatan. Namun ada hal
lainnya yang menurut saya bisa terbangun tanpa tingkat intensitas atau jumlah
kuantitas tatap muka, yaitu ketepatan jiwa yang terbangun antara pihak satu
dengan pihak lainnya.
Ketepatan jiwa dalam masyarakat kita, paling tidak sudah
terbangun sejak 28 Oktober 1928, walaupun itu tidaklah bersifat komprehensif
secara kesejarahan, dan tidak pula akurat dalam sudut pandang kejiwaan, namun
kita harus sangat bangga terhadap hal itu. Kita perlu kemudian mencermati apa
yang kerap terjadi didekat kita, ialah gesekan-gesekan psikologis antar
individu maupun antar masyarakat. Gesekan yang tidak disengaja, maupun tidak
disengaja, ternyata sama bahayanya, kedua-duanya mengandung unsur resiko.
Tertegun dan terperanga, saat satu-satunya tokoh yang
tampil dengan heroik, menuliskan sebuah artikel berjudul “orang-orang kalah”,
pada tahun 1996, sama persis dengan tahun kelahiran saya. “orang-orang kalah”
merupakan sebuah narasi intelektual kelas langit, yang membumi bagai derai
hujan dimusim kemarau. Derai hujan yang dengan tulus menemani rumput-rumput
yang sekarat, yang kehidupannya kerap tak dipandang sebelah mata pun, oleh
siapapun dam dimanapun.
Rumput-rumput sekarat adalah simbolitas dari mereka yang
“sengaja” tak diberi ruang untuk riang gembira. Namun, satu-satunya tokoh itu
rela mengorbankan diri, bahkan “bunuh diri” untuk semata-mata untuk bisa
membersamai kekalahan itu. Kekalahan yang tak pernah mereka idam-idamkan,
kekalahan yang tak pernah mereka sangka akan menimpa, serta kekalahan yang tak
pernah menjadi impian semua makhluk dalam seluruh jenis dan spesifikasi apapun.
Sedangkan, persaudaraan kejiwaan merupakan sebuah narasi
Tuhan, yang jelas-jelas tak tentu dimiliki semua orang. Hanya orang-orang yang
terkena hantaman, hanya orang-orang yang terkena hempasan tajamnya pedang
kehidupan, yang leher cita-citanya putus dari harapan mainstream kemanusiaan.
Persaudaraan kejiwaan mampu menembus ke kedalaman,
layaknya mata elang yang menatap tajam ke daratan mangsanya. Juga mampu
menyelinap tak kentara, ke dasar sanubari terdalam, walau tertutup baju-baju
suku maupun kebudayaan. Orang-orang kalah, punya jimat persaudaraan kejiwaan,
yang terikat rapat oleh pelangi kehidupan.
Wallou a’lam.
Banyumas, 23 Agustus 2019.
Comments
Post a Comment