Tulisan ini berangkat dari permintaan “teman”
yang saat itu sedang dilanda perasaan gelisah, “menurut saya”. Secara detail,
perasaan gelisah tersebut kurang elok apabila saya sampaikan, apalagi
dijabarkan. Namun ada sebuah pola yang menurut saya dialami oleh seluruh
manusia dimuka bumi ini, ialah perasaan gelisah, seperti yang waktu itu sedang
dirasakan teman saya itu.
Ngomongin perasaan gelisah pada masing-masing
orang berbeda ragam serta jenisnya, lain kekuatan tekanannya, serta majemuk resolution-nya.
Semua tergantung realitas case-nya dan yang paling signifikan terdapat
dalam pen-sikapan pada masing-masing orangnya. Itulah yang kemudian saya coba
ambil bagian untuk memberikan sebuah pemaknaan terhadap, salah satu term
yang sangat konotatif dengan kaum hawa ini, yaitu “ soal rasa”.
Term rasa ini, memiliki paling tidak dua wujud atau bentuknya.
Pertama, rasa itu bisa di-rasa-kan dalam lidah, ini namanya gejala
biologis. Gula itu manis, mangga muda itu asam, garam itu asin, bratawali itu
pahit. Kedua, rasa itu bisa
di-rasa-kan dalam hati, ini namanya gejala psikologis. Dalam kaitannya dengan
yang pertama, yaitu rasa pada lidah, itu tidaklah begitu rumit untuk dibicarakan.
Sebab rasa pada lidah itu paling hanya berhenti pada asin, manis, pahit, dan
asam titik. Akan tetapi, rasa yang terdapat dalam hati itu, penjabarannya bukan
lagi rumit, namun juga sulit. Bukanlah hati, apabila ia tidaklah rumit, sulit,
dan yang pasti, ekstra dinamic naik-turun tangga. Tetapi tidak kemudian kita
sama sekali tidak dapat menyentuh gejala-gejala terkait hati itu.
Dalam tulisan sederhana ini, mudah-mudahan
saya dapat memberikan penjelasan yang mudah dipahami, yang semoga dapat meringankan
kegelisahan rasa itu, atau yang lebih intinya adalah segala jenis-macam
ketidak-enakan perasaan dalam diri kita. Seminimal-minimalnya, kita dapat dan mampu,
untuk sama-sama, membersamai kegelisahan rasa atau rasa gelisah tersebut,
supaya kemudian semaksimal-maksimalnya kegelisahan itu, tidak sampai
berlarut-larut bersemayam dalam gelanggang arena ke-kalut-an serta tidak sampai
ber-comfort zone pada titik ke-gabut-an batin yang jelas dan tegas dapat
membebani. Kalau ada beban, tentu kita tidak leluasa untuk melakukan aktifitas
yang lainnya. Dari mulai berfikir, sampai bergerak-beraktifitas.
Ada beberapa hal yang akan saya urai dalam
tulisan yang saya beri judul “soal manajemen rasa” ini. Pertama, ialah perihal pandangan
saya tentang penyebab rasa gelisah, atau yang lebih substansialnya adalah
segala hal yang tidak enak di-rasa-kan. Kedua, yaitu terkait manajerialnya.
Berbeda dengan manajemen dalam wacana keilmuan populer, seperti planning,
actuating, organizing, controlling, sampai evaluating. Menurut hemat saya,
soal rasa itu sama sekali berbeda. Soal manajemen rasa ini, terdapat poin kunci
yang saya akan blejeti, yaitu “pengolahan rasa”.
Penyebab Rasa Gelisah.
Kalau disebutkan jenisnya, akan sangat banyak
sekali. Namun pada intinya, rasa gelisah yang alami pada seseorang itu memiliki
grand issue yang sama, ialah hampir mirip dengan apa yang kita sebut
sebagai “masalah”, yaitu berbedanya harapan dengan realitas. Harapan itu
sesuatu yang kita butuhkan, dan atau yang kita inginkan. Sedangkan realitas
disini, memiliki arti kenyataan yang tidak sesuai dengan kebutuhan, dan atau
keinginan. Apabila realitas dan harapan yang kita miliki tidak “kawin”, maka
disitulah letak rasa gelisah itu eksis dalam hati.
Contoh yang paling sering dihadapi semua orang
adalah saat menghadapi sebuah ujian sekolah/kuliah. Kita yang berharap
mendapatkan nilai 80 atau A, namun realitanya kita dapat skor 40 atau C. Maka
otomatis rasa gelisah itu muncul. Dan masih bejibun contoh-contoh lainnya, yang
dapat kita temui.
Penyebab rasa gelisah ini, wajib hukukmnya
untuk senantiasa diketahui, karena hal tersebutlah yang akan memberikan batu
pijakan pertama pada perjalanan pengolahan rasa. Kan untuk menyelesaikan soal,
kita butuh memahami soal.
Pengolahan Rasa.
Apapun bendanya, kejadiannya, momennya,
siapanya, kenapanya, bagaimananya, semua itu tetaplah tergantung oleh
pengolahannya. Seperti halnya dengan misalnya, terigu yang dapat diolah menjadi
pisang goreng, mendoan, tempe kemul, tahu brontak, utri, pipis, klepon,
meniran, dan seterusnya, masih banyak jenis-ragam lainnya. Sekali lagi,
tergantung pengolahannya.
Pengolahan adalah koetji-nya.
Pengolahan menempati posisi yang “jantung” dalam setiap detik perjalanan.
Bagaimana, apa, kapan, siapa, berapa, dimana, itu adalah fakta dan nyata, akan
tetapi itu bukanlah “makna”. Makna merupakan efek samping dari pengolahan.
Apakah makna yang muncul itu berbau warna positif, atau malah berbau warna
negatif, itu semua kembali dan tergantung pengolahannya. Ini membutuhkan
kelincahan untuk meliuk-liuk mengolah rasa, dan pastinya perlu latihan yang abadan-abadan.
Seperti yang sudah saya sampaikan diatas,
bahwa letak rasa ada di hati, maka sesuai namanya, hati itu berarti
berbolak-balik. Berbolak-balik dalam hal ini, menurut saya tidak sekedar
atas-bawah, tidak cuma kanan-kiri, namun bisa serong, muter-muter, sampai
hancur lebur ambyar. Tidak bermaksud melebay-lebaykan keadaan, saya
hanya menyuguhkan kenyataan yang ada.
Salto dan jungkir-balik suasana hati ini,
atau bahasa lainnya; perasaan yang gelisah itu, memiliki masa-masa dan jangka
waktu tertentu. Ada yang yang cepat stabil dalam hitungan detik sampai menit,
namun terdapat juga yang puluhan tahun masih dalam kondisi non-stabil. Ketidakstabilan
perasaan ini, memiliki efek domino. Diantaranya, suka marah tanpa sebab yang
pasti, melakukan kekerasan yang melampaui bahkan beberapa ada yang sampai
membunuh.
Penyebab dari perasaan yang gelisah, juga
dapat mengurung diri, tidak suka bertemu masyarakat, guilty feeling, dan
lain sebagainya. Pokoknya hal-hal negatif, potensialnya tinggi untuk
terus-menerus mengguncang stabilitas, kreatifitas, serta produktifitas.
Mendiagnosa, lalu kemudian mengolahnya menjadi
sebuah kekuatan, adalah tugas kita setiap hari. Terutama pada soal rasa, yang
tiap hari perlu di upgrade habis-habisan, yang bahan bakarnya terbuat
dari kesungguhan dan kesabaran. Mari berjuang bersama, didalam-Nya.
Wallohu a’lam.
Surakarta, 9 September 2019.
Comments
Post a Comment