Kehidupan yang kita jalani, kalau dilihat dari
kesejarahannya (masa lalu), paling baru mampu me-nalar sesuatu, itu kalau sudah
ber-umur belasan tahun. Kalau umur masih dalam skala hitungan 1 sampai 10,
paling hanya mampu menangkap momen-momen yang “paling”. Misalnya paling
menyakitkan, misalnya paling menyenangkan. Itu namanya kesan, atau berkesan.
Beranjak pada usia belasan, 11-19 tahun, yang
merupakan tahap awal nalar itu tumbuh, lalu mendetail pada wilayah perkembangan.
Itu pun memiliki keterbatasan wujud nalar secara utuh, dalam menimbang dan
mempertimbangkan berbagai peristiwa. Orang pada umumnya menyebut usia belasan
itu alay, labil, dan masih besar sifat bawaan anak-anaknya.
Berbeda dengan usia puluhan, yaitu 20-30.
Dalam rentang umur tersebut, nalar sudah masuk dalam wilayah yang cukup stabil,
lawan dari term labil. Orang psikologi menyebutnya tahap dewasa dini. Sedangkan
untuk angka umur selanjutnya, sampai ratusan (rata-rata umur orang saat ini)
itu disebut dewasa madya, sampai lansia. Pihak negara dalam wilayah urusan
ketenagakerjaan, menyebut umur 65 sebagai batas dari produktifitas.
Terlepas dari uraian singkat tentang
bertambahnya usia, serta klasifikasi terbatas yang saya ungkapkan diatas, kita
juga memiliki keyakinan yang sama, pada sebuah frasa yang mengatakan, bahwa
umur itu terkadang tidak terkait dengan kedewasaan. “Tua itu pasti, sedangkan
dewasa itu pilihan”. Entah apa dan bagaimana Anda memberikan interpretasi
terhadap term dewasa diatas. Yang jelas, disebut dewasa gampangannya itu lawan
dari anak-anak atau kekanak-kanakkan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, kok
bisa, ada orang tua (secara umur) yang dianggap seperti anak-anak (secara non
umur), juga kok bisa, ada anak-anak (secara umur) yang disebut orang tua
(secara non umur). Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tidaklah begitu sulit.
Namun yang lebih sulit itu, menjawab dan merinci, kalau boleh sampai
mempersatukan, tentang “anggapan-anggapan”.
Kapasitas sikap, entah itu dewasa, entah itu
anak-anak, sama-sama memiliki anggapan itu tadi. Dan, termasuk tulisan ini pun,
tak bisa melawan sunnatulloh dalam bentuk “anggap meng-anggapi”.
Ada kalimat yang cukup menarik dari Sabrang
Mowo Damar Panuluh, bahwa “semua cobaan memberi kesempatan manusia untuk bisa
me-recheck keteguhan diri, sekaligus juga bisa menjadi anak tangga yang
berharga untuk proses pendewasaan. Cobaan bisa menjadi beban, bisa menjadi
kesempatan. Hanya kedaulatan diri yang mampu menjawabnya”.
Tidaklah mudah untuk kita memposisikan sikap
yang tepat. Bukan karena kurangnya pengetahuan, maupun minimnya pengalaman,
akan tetapi kesulitan itu terletak pada ketidakpunyaan kita pada konsensus apa
arti tepat itu. Apalagi ketepatan itu amatlah dinamis.
Itulah dinamika ketepatan yang tak akan pernah
habis untuk digali, maupun digarap dalam bentuk discourse apapun itu. Jalan
tengahnya hanya dimiliki pada religion yang mampu menggembirakan relung hati
terdalam, bukan hanya kita tapi semuanya.
Wallohu a’lam.
Klaten, 28 Agustus 2019.
Comments
Post a Comment