Skip to main content

Kemala: Wanita Idaman (Kita).


Sudah berapa lama dia dimaksudkan oleh banyak orang untuk dipindahalihkan kepemilikan. Dari pihak yang urun rembug kepada pihak yang urung angan. Kalau saya menyebutkan perpindahan kepemilikan dari Bapak ke Anak, barangkali kurang sopan, apalagi ini negeri yang amat santun bertutur, namun brutal berbuat licik, alhamdulillah tidak semuanya. “Wanita idaman pria”, itu gelar baru yang disematkan oleh legitimasi sosial, namanya juga sosial, beberapa detik saja potensi berubahnya tinggi, tetapi tidak pada wanita yang ini. Wanita itu bernama Kemala, tentu ini nama samaran.

Siapa yang akan berani menyangkal bahwa remaja-remaja dari zaman 70-an belum pernah nonton blue film. Itu yang berupa film, kalau tayangan-tayangan di iklan TV, baliho jalanan, sampai tontonan nyata, pun telah di konsumsi melebihi resep dokter; tiga kali sehari. Itu nontonnya kalau gak sengaja, nah ini kan ada juga yang dengan sengaja disajikan. Bagaikan tutup ketemu botol; cucok kalau kata bencong terminal. Lagu dangdut pun mengilustrasikannya dengan amat gamblang; “asal ndeleng pepesan wajah bringasan”, ya itu lagu kucing garong, untung asosiasi perkucingan tidak marah dengan hal ini, sebab kadang-kadang disatu sisi mereka, kucing-kucing lebih tinggi martabatnya dibanding manusia.

Ilmuan psikologi dalam suatu pertemuan pernah menyampaikan, kalau-kalau pria itu melihat pertama kali pada perempuan, ya cantiknya! Kalau Anda pria silahkan dijawab, apakah ini benar; tentu tidak perlu juga diumbar hasil jawabannya. Terus kalau perempuan melihat pria apanya? Ya, barangkali agak mirip, cuman sedikit yang bicara blak-blakan. Entahlah, lagi pula tulisan ini mau ngrasani Kemala, bukan survei elektabilitas ketampanan atau kecantikan.
“Nyari cantiknya, bukan cocoknya”. Frasa itu barangkali yang cukup dekat dengan penggambaran pria yang mengidamkan Kemala itu. Kalau saya lihat, Kemala ini memang kecantikannya paling menonjol diantara wanita lainnya, terlebih didukung oleh tubuh proporsional dan feminitas yang melekat. “Yang begini nih gue demen”, lontar salah seorang pria dari gerombolan itu.

Kalau mau ngomongin kecantikan perempuan, saya yakin tidak akan ada habisnya, selalu saja dan selalu saja akan ada yang melebihi, bahkan ada yang mengurangi, mirip sudah dengan timbangan bawang di pasar. Apakah salah apabila seorang pria mencari kecantikan wanita? Tidak salah-salah amat, juga tidak benar-benar amat. Syukur kalau wanitanya itu mau, kan si pria perlu ngaca dulu untuk mengestimasi tingkat kesetaraan antara kegantengan dengan kecantikannya. Kalau under estimate, bisa-bisa di kira pake pelet, kan repot. Juga nanti orang melihatnya, lalu bergumam, “dunia ini tidak adil”.

Sebagai seorang bujangan, barangkali saya tidak cukup ilmiah untuk bicara perihal kecocokan antara pria dan wanita; belum teruji oleh laboratorium kehidupan. Cuman begini, kalau saya amati sekilas; kecocokan itu barangkali perihal di pikir diambil berjalan. Walaupun berjalannnya itu terseok-seok, kepaduk-paduk, kedagar-dagar, kedangsakan. Perlu ada batin yang dikorbankan, terkadang kan begitu. Ke-jomblo-an yang belum juga disudahi oleh sebagian orang juga barangkali karena ada prasangka buruk terhadap perihal kecocokan. Terlebih koran lokal di kota C, melaporkan bahwa 6.653 kasus percerian terjadi pada tahun 2018, kemudian 2 bulan pada 2019 ini,  800 perkara cerai diajukan telah diajukan.

Lalu apa yang harus dilakukan untuk menganalisa kecocokan antara pria dan wanita? Kalau Islam menjawabnya dengan ta’aruf (pengenalan). Cuma saat ini pengenalan yang dilakukan oleh pria pada wanita, jelas mengalami “kemajuan pesat”. Mereka banyak yang dengan gagah berani dan penuh kepercayaan diri untuk menafkahinya secara lahir dan batin, wanitanya pun barangkali ketagihan. Untung si Kemala masih suci, dia masih fresh untuk di ta’arufi, tentu kepribadiannya, bukan mahkota kecantikannya.

Wallohu a’alam.
Banyumas, 29 Juli 2019.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-