Mendekati waktu
maghrib, pada 26 September 2019, masyarakat
dihebohkan dengan meninggalnya salah satu mahasiswa bernama Randi. Mahasiswa tersebut
meninggal saat melakukan demonstrasi di depan gedung DPRD Sulawesi Tenggara (SULTRA).
Para wartawan yang langsung mendatangi lokasi kejadian, mendapati beberapa informasi, khususnya yang datang dari pihak kepolisian setempat, bahwa Randi meninggal saat sedang dibawa ke rumah sakit terdekat. Liputan6.com mengabarkan kalau Randi meninggal karena terkena tembakan.
Demonstran yang melakukan sejumlah pengrusakan di area gedung DPRD SULTRA tersebut, memaksa petugas keamanan (Baca: Polisi) bertindak tegas dan "keras".
Kita semua tentunya berharap, kalau kasus meninggalnya Randi di Kendari, Sulawesi Tenggara itu, tidak boleh terulang kembali, di daerah-daerah lainnya. Namun, itu semua akan "bullshit" belaka, apabila kita terus-terusan merawat anarkisme sejak dalam pikiran, serta membumihanguskan philosophy "tepo sliro".
Para wartawan yang langsung mendatangi lokasi kejadian, mendapati beberapa informasi, khususnya yang datang dari pihak kepolisian setempat, bahwa Randi meninggal saat sedang dibawa ke rumah sakit terdekat. Liputan6.com mengabarkan kalau Randi meninggal karena terkena tembakan.
Demonstran yang melakukan sejumlah pengrusakan di area gedung DPRD SULTRA tersebut, memaksa petugas keamanan (Baca: Polisi) bertindak tegas dan "keras".
Mensikapi meninggalnya
Randi tersebut, masyarakat di media sosial langsung bereaksi tegas, dan terkesan "keras". Pamflet-pamflet,
tulisan-tulisan, pernyataan-pernyataan langsung membanjiri jagat medsos. Bahkan
dibeberapa daerah, sebagian masyarakat berbondong-bondong melakukan sholat ghoib. Tidak sampai
disitu, sebagian lainnya kemudian menggruduk kantor kepolisian, dalam rangka meminta untuk pihaknya sesegera
mungkin mengusut tuntas kasus tersebut.
Kasus tentang
demonstran yang meninggal bukanlah hal yang baru, misalnya kerusuhan Mei 1998, tragedi semanggi I November 1998, Semanggi II September 1999, dan sederet kasus
lainnya, baik yang terliput media maupun yang tidak.
Kalau kasus demontran yang sampai
meninggal itu jelas tidak sebanyak kasus yang membuat para demonstran
luka-luka, baik yang ringan maupun berat. pun tidak sedikit, pihak kepolisian menjadi korbannya.
Kasus-kasus yang
terjadi, baik itu demonstran yang meninggal ataupun yang luka-luka, saya
melihatnya sebagai “fakta”. Tentunya disini saya tekankan sebagai fakta yang
memprihatinkan. Sebuah fakta yang mau tidak mau kita terima sebagai bangsa. Tentu
ucapan belasungkawa, serta do’a untuk korban tetap kita semua hadiahkan.
Proses hukum
harus dijalankan, keadilan wajib ditegakkan. Saya, dan harapannya kita, tidak
kemudian larut untuk menyalahkan dan mengkambinghitamkan salah satu pihak saja, terutama terhadap
tindakan represif oknum kepolisian. Sebab untuk melihat kasus yang demikian
memprihatinkan itu, perlu dada yang lebar sebagai pijakan melangkah kedepan, dalam rangka mengupayakan perbaikan.
Evaluasi memang
kental ditujukan untuk oknum kepolisian yang represif, namun saya kira itu
kurang "fair". Sebab apapun yang terjadi, baik skala makro maupun mikro, tetap
ada “asap” dan “api”. Bisa jadi, api itu berasal dari respon akibat demonstran
yang tidak menaati prosedur, bisa jadi pula, api itu berasal dari oknum
kepolisian yang melanggar SOP.
Akhlak gotong-royong
bangsa Indonesia kembali dipertanyakan, terlebih pada sikap dan perilaku jahil
oknum dari berbagai elemen, baik itu demonstran maupun kepolisian. Gotong-royong itu mengharuskan kesadaran "tepo sliro" (tenggang rasa). Maka yang muncul adalah norma saling percaya untuk melakukan
kerja sama, dalam menangani permasalahan yang menjadi kepentingan bersama.
Kita semua tentunya berharap, kalau kasus meninggalnya Randi di Kendari, Sulawesi Tenggara itu, tidak boleh terulang kembali, di daerah-daerah lainnya. Namun, itu semua akan "bullshit" belaka, apabila kita terus-terusan merawat anarkisme sejak dalam pikiran, serta membumihanguskan philosophy "tepo sliro".
Dengan berat hati
saya menyampaikan bahwa, sangat mungkin kalau “agama agemaning diri” bangsa Indonesia
telah di lucuti oleh dirinya sendiri. Padahal itulah titipan paling mewah yang
dimiliki oleh, bukan hanya bangsa Indonesia, tapi seluruh manusia. Dan, jelas bahwa "agama agemaning diri" ini, tidak hanya berlaku pada soal meninggalnya Randi.
Wallohu a’lam.
Surakarta, 26
September 2019.
Comments
Post a Comment