Skip to main content

inama Buistu Liutamima Makarimal Akhlaq


Tulisan pada momen ini, sebenarnya, awalnya mengisahkan hal yang cukup inspiratif, baik secara keagamaan maupun secara perekonomian. Namun setelah dipertimbangkan secara sepihak, hal tersebut kurang renyah dan gurih untuk dihidangkan. Terlebih untuk kebutuhan senda-gurau kritik-mengkritik diri, yang tak luput dari dosa kecil maupun besar, apalagi bagi anak muda yang masih menggelegak darahnya.

Jadi begini, pada malam itu Hendro yang saat itu masih berprofesi sebagai pengangguran berkunjung kerumah salah satu saudaranya, jaraknya hanya sekitar satu setengah kilo dari rumahnya. Suasana rumah saudaranya yang biasanya sepi itu, tampak ramai dari penglihatannya, yang berjarak lima meter dari sudut matanya. Motif Hendro berkunjung kerumah saudaranya ini sebenarnya sangatlah sederhana, yaitu mencari sinyal hape yang tidak terjangkau apabila berada di area rumahnya, jadi harus bergeser untuk keterjangkauan itu.

Hendro yang sejak kecil memiliki takdir menjadi pendiam dan tertutup, sebenarnya sangatlah tidak nyaman dengan suasana keramaian, apalagi kondisi batinnya yang sedang kurang sehat, disebabkan karena kondisi profesinya yang bisa dikatakan memburuk. Namanya juga pengangguran, itu kan aib bagi keluarga, tetangga, sampai nusa-bangsa. Pemerintah, maupun calon pemerintah selalu menggoreng isu pengangguran, sebab isu ini merupakan langganan antar periode, yang sangat bahenol untuk dicumbui secara akademis.

Tibalah saat yang sangat dibenci oleh Hendro, yaitu diwawancarai secara bertubi-tubi. Orang pendiam dan tertutup sangatlah menghindari hal tersebut. Sebab bagi orang-orang tertutup bin pendiam, hanya orang-orang tertentu saja yang boleh tahu isi hatinya, bahkan kalau perlu hanya Tuhan dan ia yang mengetahuinya, sesekali semut hitam dibolehkannya. “Hendro, sekarang kerja dimana?”, tanya saudara perempuannya itu, yang kebetulan lebih tua jauh dari dirinya. Dengan nada yang merembet malu-malu sambil nyengir kecut, Hendro menjawab, “belum kerja mbak, belum nemu, masih nyari-nyari”.

Percakapan pada waktu itu, yang notabene hanya dinikmati oleh salah satu pihak, yaitu saudaranya Hendro, terus mengalir, lebih tepatnya menyerbu tak terbendung. Sampailah pada momentum, ketika seorang orang tua membanggakan anaknya sendiri, dan menghina anak orang orang lain secara implisit namun eksplisit dirasakan. “Si Gondi itu loh dicontoh”, tutur saudara perempuannya itu. Gondi adalah salah satu nama anaknya yang secara ekonomi cukup sukses, bahkan secara keagamaan pun cenderung mendekati paripurna, mungkin.

Suasana ramai yang tidak disukai Hendro, ditambah tekanan-tekanan psikologis yang ia rasakan, adalah hal yang harus diterima, adalah hal yang harus mau tidak mau dinikmati. Pertanyaannya, apakah yang dilakukan saudaranya itu salah? Jawabnya jelas tidak, alias wajar-wajar saja. Apakah suasana kebatinan Hendro itu juga salah? Jawabnya juga jelas tidak, alias normal-normal saja. Lalu, apanya yang keliru sebenarnya?

Ujung-ujungnya yang ditanya pekerjaan, aspek lain jelas di anak-tirikan. Memang tidak bisa disangkal, bahwa untuk melangsungkan hidup itu butuh pekerjaan, kalau perlu pekerjaan yang menghasilkan nominal yang besar. Namun apakah pekerjaan itu adalah aspek satu-satunya untuk mengukur keberhasilan hidup seseorang, apakah pekerjaan itu adalah satu-satunya aspek penilaian? Bukankah aspek moralitas adalah hal yang juga tak kalah penting? Bukankah aspek karakter menjadi pekerjaan rumah Indonesia akhir-akhir ini? Tidak ada yang salah dengan pertanyaan pekerjaan, namun pertanyaan yang kerap luput dari perhatian adalah misi innma bu’istu li utammima makarimal akhlaq.

Wallohu a’alam.
Banyumas, 25 Juli 2019.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-