Skip to main content

Legacy Literasi dari Romlah.


Kejadiannya sekitar tahun 2015. Perempuan yang memiliki penampilan rata-rata itu, masuk dalam sebuah ruangan yang tak jauh dari hiruk-pikuk dimensi akademis. Perempuan itu sebut saja Romlah, mohon maaf apabila ada nama yang sama, ini hanya nama rekaan saja. Waktu Simad, ini juga nama rekaan, supaya kaya di novel-novel, namanya kami samarkan, didatangi oleh Romlah, dengan wajah yang memiliki bercak deg-degan, karena harus berhadapan dengan Simad yang tampangnya cukup serius, minim sekali tertawa.

Siang itu tampak lebih panas dari biasanya, mungkin karena ruang enam kali lima meter itu tidak ber-Ac, maklum orang desa lebih biasa dengan pendingin alami angin spoi-spoi. Konon pada ruangan itu terdapat sebuah acara semacam recruitment anggota organisasi kampus. Alih-alih ingin mencairkan suasan, justru Simad malah terhanyut pada berbagai obrolan, toh dalam merangkai humor, Simad sangatlah krik-krik, walaupun dia pernah punya obsesi untuk menjadi stand up comedy-an.

Satu dua tiga pertanyaan dilontarkan, empat lima enam tanggapan diujarkan, siang yang panas itu rupanya dapat teralihkan oleh obrolan romantis-dialektis antara mereka berdua. Rupa-rupanya, mereka sedang asyik membeberkan tentang aktivitasnya, terutama Romlah ini yang barangkali secara kodrati lebih suka omong-omongan, pun terlatih rumpi-rumpian. Walaupun jika ditelaah secara cermat, chating verbal yang mereka perankan tidaklah menarik, namun ternyata ada yang unik. Ini menyangkut tentang hobby si Romlah.

Simad melontarkan pertanyaan eksplisit, “Mbak Romlah ini hobby nya apa, kalau boleh tau yah?” “Hobby saya membaca dan menulis Mas”, jawab Romlah dengan nada khas kewanitaannya. “Lho lho lho, apa tidak jenuh dan bosan sih, membaca sama menulis terus?” Tanya Simad, dengan lirikan yang cukup maskulin. “tidak mas, soalnya kalau lagi jenuh saya membaca, kalau lagi bosan saya menulis”, jawab Romlah dengan nada percaya diri, barangkali sebentar. Simad spontan menganga unsur sensoriknya, karena Simad notabene tidak atau kurang menyukai membaca dan menulis, kecuali ketika dipaksa keadaan, misalnya ketika ujian semester itu datang, alias SKS (sistem kebut semalam).

Setelah percakapan yang menyita waktu sekitar 14 menitan, Simad mempersilahkan Romlah untuk pamit, kebetulan memang Romlah ini mau masuk kelas. “Maklumlah dia kan anak yang rajin”, Simad mbatin. Cuaca sudah agak sore, Simad yang memiliki kebiasaan ngretek, memulai aksinya tersebut. Habis setengah jalan hisapan demi hisapan, kemudian Simad menyapa makhluk sejenisnya, maksudnya sejenis dengannya yang ditakdirkan hidup menjadi laki-laki, yaitu Doni, teman sekelasanya.

Sapaan Simad kepada Doni yang dimulai dengan bahasa basi, kemudian diikuti dengan semacam reportase kejadian sebelumnya, yaitu percakapan antara dirinya dengan Romlah. “Don, tadi ada peserta yang unik, namanya Romlah, dari fakultas sebelah”, ujar Simad kepada Doni. “Dia punya hobby yang cukup menarik, katanya dia kalau jenuh itu membaca, trus kalau bosan itu menulis, unik kan?”. Doni yang memiliki takdir bermuka flat menanggapinya dengan santai, terkesan cuek. “oh..perempuan yang tadi, yayaya”. Ekspresi Doni, tidak membuat Simad, menghentikan reportasenya.

Obrolan mereka (Doni dan Simad), berlanjut ketika mereka berdua menuruni tangga, dan menuju ke ruang kelas. “Barangkali ini sebuah kode bagiku, tentang indahnya literasi ya Don”, lontar Simad, dengan raut wajah sok bijak. “iya Mad, Romlah itu cocok sekali bergabung dengan organisasi kita, lumayan bisa menambal kemalasan literasi kita, ya kan?”, respon Doni dengan nada humornya. Ha-ha-ha. Kelakar mereka menghentikan obrolan mereka.

Romlah yang memiliki hobby unik tersebut, pada akhirnya cukup disayangkan, sebab policy pesantrennya, tidak membolehkan untuk berkegiatan sampai larut malam. Romlah yang tidak jadi bergabung tersebut, ternyata tetap meninggalkan legacy nalar kepada imajinasi Simad dan Doni. Mereka berdua adalah salah-dua murid yang selalu dinanti-nantikan eksplanasi, respon-respon, kritik-kritiknnya, oleh teman sekelas lainnya, bahkan oleh masyarakat kampusnya, disebabkan kedua-duanya punya tradisi intelektual yang cukup dianggap manjur.

Wallohu a’lam.
Sukoharjo, 20 Juli 2019.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-